Hanya tersisa setengah cangkir kopi dan
setoples kue kering yang masih utuh.Selalu saja, setiap datang ke rumahku,
lelaki paruh baya itu tak pernah mengarahkan jari-jari tangannya untuk
mengambil makanan yang telah disuguhkan ibu.
“Dia
sudah pulang, Wan?” ibu berjalan ke arahku.
Aku tidak menjawab.Aku
masih sibuk membereskan ruangan yang aku tempati untuk bercakap-cakap dengan
lelaki tadi.
“Kamu masih memikirkan
perkataannya tadi?”
Kembali, aku hanya
diam.
“Kamu lebih percaya
ucapan lelaki itu daripada ibumu sendiri??” ucapan ibu mulai terlihat
mendesakku.
“Wan!” ibu menggertak.
Aku menghela napas,
“Sudahlah, Bu. Aku lelah jika setiap hari harus bertengkar dengan ibu..”
“Ibu juga lelah, Wan,
tapi..” ibu tidak melanjutkan bicaranya.
“Tapi apa, Bu?
Permasalahannya hanya pada “ya” atau “tidak”.Mudah bukan? Tapi ibu seperti
mempersulit keadaan dengan tidak pernah memberi kepastian padaku..”
Kami berdua terdiam.Aku
tidak berani untuk menatap mata ibu.Raut mukanya terlihat gelisah membungkus
beban atas semua tanyaku.
“Jika kamu masih mau
mempercayai lelaki itu, lebih baik kamu tidak usah lagi menganggapku sebagai
ibumu…..!” Ibu berjalan menuju kamarnya.
Aku biarkan ibu
meninggalkanku sendirian.Kata-kata ibu begitu mengangetkanku.Aku tidak siap
dengan ancaman ibu yang dilontarkan kepadaku.Batinku serasa dihujam oleh mortir
dengan butiran peluru yang begitu mematikan. Sesak!!Ucapan terakhir ibu terus
berputar-putar memenuhi isi kepalaku.Apa aku anak yang durhaka???Apakah aku
salah, sebagai seorang anak yang mempunyai naluri untuk menanyakan keberadaan
ayah dan ibuku yang sebenarnya???
Dua puluh satu tahun
sudah aku hidup dengan ibu angkatku.Dia tidak pernah memberi tahuku tentang
siapa dan dimana orang tua kandungku.Dia selalu mengatakan bahwa kedua orang
tuaku telah meninggal dunia sejak aku masih kecil.
“Apa benar ayahku masih
hidup, Bu?” ucapku lirih.
Ibu hanya diam dan
menengok ke arahku.
Aku berjalan mengambil
kunci mobil dan pergi.
“Kamu mau kemana, Wan?”
Teriakan ibu tak mampu
menembus akal sehatku.Aku meninggalkannya begitu saja.Kupacu mobilku dengan
sangat kencang. Tanpa arah! Tanpa tujuan!Beberapa kendaraan yang hampir saja
tertabrak olehku, terdengar membunyikan klakson.Bahkan tak jarang diantara mereka
ada yang berhenti, lalu berkoar kepadaku.Sampai akhirnya, mobilku diberhentikan
oleh lampu merah. Pikiranku melayang-layang tak karuan…..
“Kamu
tinggal disini, sekarang?” kata lelaki itu lirih sambil memperhatikan
sekeliling rumahku.
Aku hanya tersenyum.
“Manis sekali senyummu!
Persis seperti bapakmu!!” nada bicaranya sudah mulai naik.Dia tersenyum ramah.
“Maksud, Anda?”
“Iya, Bapakmu…”
“Maaf, kata ibu, ayahku
sudah meninggal ketika aku masih kecil. Ya, kurang lebih dua puluh satu tahun
yang lalu..” aku menyela.
Lelaki itu menatapku
lekat-lekat, “Lantas, kamu percaya begitu saja kalau bapakmu sudah meninggal??”
Biiippp!!!
Biippbiip...!!!
Seketika aku terbangun
dari lamunanku.
“Apa aku harus pulang
dan membicarakannya baik-baik dengan ibu? Tetapi jika ibu menolak, apa aku
harus memaksanya? Atau aku harus menunggu kedatangan lelaki itu lagi kerumahku
untuk mencari informasi darinya? Ya Tuhan..” gumamku.
Kupikir bukan pilihan
yang salah jika malamini aku tinggal di rumah temanku sebelum aku benar-benar
yakin memutuskan untuk pulang menemui ibu.
Esok harinya, saat fajar belum sempurna menciumi rerumputan yang basah,
aku memutuskan untuk pulang.Baru saja aku sampai di depan
rumah, terlihat ibu sedang ribut dengan lelaki yangsepertinya tidak asing dalam
pandanganku.
“Ridwan itu bukan darah
dagingmu!!Jadi kamu tidak pantas melarangnya untuk bertemu dengan bapaknya!!”
“Kamu itu hanya sebatas
teman bapaknya Ridwan!!Jadi, tidak ada hak untukmu mengusik hal itu!!” Aku
akui, memang, Ridwan bukan darah
dagingku!! Tetapi dia anakku. Dan ingat! Aku tidak akan pernah sekalipun
memberitahu dimana bapaknya sekarang!!”
“Bu..”Aku memanggilnya
pelan.
“Ridwan?”
Aku mendekatinya, “Apa
maksud ucapan Ibu?”
Ibu hanya diam dan
berusaha menyembunyikan tangisnya.
“Mana mungkin wanita
keras kepala itu akan menceritakan kejadian yang sebenarnya padamu..” lelaki
itu tertawa, dan berlalu pergi meninggalkan kami.
Aku mengikutinya, “Jaga
bicara Anda!”
“Sudahlah, Wan!!
Biarkan dia pergi!!! Jangan percaya ocehannya karena dia memang tidak berhak
untuk berkata apapun padamu. Ibu sudah lelah!!” tangis ibu pecah.
“Tapi, Bu..”
“Cukup, Wan!!Jangan
pernah kamu memanggilku “Ibu” jika kamu terus saja mendesakku!!”
Ah, kembali, lagi-lagi,
aku membuat sedih hati perempuan ini. Aku menyusulnya ke dalam rumah.Ada rasa
menyesal yang terus menyelimuti hati. jelas terdengar suara tangisnya dari dalam
kamar.
Ketika keluar,ibu
menyerahkan secarik kertas padaku.
Aku menatapnya, “Apa
ini, Bu?”
“Antarkan ibu ke alamat
itu..”
Saat itu juga kami
berangkat.Tidak banyak tanyaku pada ibu waktu itu.Berat rasanya untuk berucap
satu katapun.
Kulirik arlojiku, sudah
pukul lima sore.
Sempat beberapa kali
aku melihat ibu menatap keluar mobil.Terlihat jelas langit menjelang malam,
dengan semburan warna jingga dari seniman Agung yang melukis spontan, tak
dibuat-buat, dan memikat.
Mobilku berhenti tepat
di depan rumah yang alamatnya tertera pada selembar kertas yang ibu berikan.
Megah!!Tapi, rumah ini lebih tepat
disebut kastil. Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri
dalam sepi.Terlihat beberapa kunang-kunang, terbang di ambang ilalang yang
bergoyang karena angin yang melenguhinya.
“Wan, benar ini alamatnya?”
“Ya, Ridwan juga kurang
tahu, Bu. Ridwan hanya mengikuti apa yang ada pada kertas itu..”
Ibu hanya diam.
“Memangnya ini alamat
siapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga akan
mengetahuinya..”Ibu turun dari mobil dan berjalan menuju rumah itu.
Aku mengikutinya.Rasa
penasaran ini terus menggebu-gebu dengan sikap ibu yang semakin memantapkan
langkahnya menuju rumah itu.Tepat di hadapanku sebuah pintu gerbang yang
berdiri begitu congkak seolah ingin bercerita banyak pada kami.
“Mungkin yang punya
rumah sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu..”
“Ibu yakin, orang yang
ibu cari masih tinggal di tempat ini…”
“Tapi, Bu, rumah ini
seperti sudah lama tidak ditempati..” aku mencoba meyakinkan ibu.
“Ya, memang ibu
mendapatkan alamat ini sejak dua tahun yang lalu.Tapi, jika rumahnyanya sudah
pindah pasti ibu diberi tahu alamat barunya..” ulang ibu meyakinkanku dan itu
membuaku sedikit jenuh.
Kami menunggu cukup
lama di tempat itu.Keyakinan ibu atas alamat itulah yang terus menjadi alasan
keberadaan kami di sini selama berjam-jam.
“Apa tidak sebaiknya
jika mencari penginapan dulu untuk kita tidur malam ini, Bu?”
“Tunggu sebentar lagi,
Wan, mungkin orangnya sedang pergi…” ucap ibu.
“Bu, mana mungkin ada
orang yang menempati rumah ini?”
Pelan, aku menuntunnya
untuk kembali ke mobil.Tubuhnya terasa dingin ketika jari-jariku
menyentuhnya.Terasa sekali bahwa ibuku sudah mulai rapuh.Bodohnya aku yang
sempat berpikir untuk memaksanya menjelaskan duduk perkara siapakah aku ini
sebenarnya.
Malam mulai
beku.Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Ya, siklus alam, selalu
saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan lelah.
****
Semesta kembali
bersinar.Ibu sudah menungguku di mobil untuk kembali ke alamat yang ibu yakini
kebenarannya.Aku langsung menuju alamat itu.Tampak jelas sekali ada guratan
kecemasan pada muka ibu.Mungkin karena jalanan yang sedikit macet dan khawatir
jika harus datang untuk kedua kalinya tanpa hasil apapun.
Sama!!! Rumah itu masihsama
seperti tadi malam. Sepi!
“Sepertinya sama saja,
Bu. Dari tadi malam kita ke tempat ini dan ini kedua kalinya pada waktu yang
berbeda, tidak ada perubahan..”
“Begini saja, Bu, Ibu
tunggu di mobil sebentar biar Ridwan cari informasi tentang pemilik rumah
ini..”
Aku keluar dari mobil
dan berjalan jauh hingga menemui beberapa rumah.Tetapi tidak ada satu rumahpun
yang terlihat ada penghuninya.
Seseorang menjawil
pundakku, “Nak….”
Aku terkejut.
“Sedang apa Kamu
disini?”
“Oh, begini, Pak, saya
sedang mencari pemilik rumah kosong di ujung jalan sana. Bapak tahu siapa pemiliknya?”
“Pergi saja ke pasar di
dekat perempatan lampu merah disana, pasti Kamu akan menemuinya. Namanya
Sinta..” ucapnya sambil menunjuk arah utara.
“Sinta? Oh, ya, Pak.
Terimakasih..”
Aku berlari ke mobil
dan langsung menuju pasar.
“Loh, Wan, kita mau
kemana?” tanya ibu.
“Ke pasar, Bu. Nama
pemilik rumah itu, Sinta.
Ibu hanya mengangguk.
Sepertinya ibu sudah tidak asing dengan nama itu.
“Bu, boleh Ridwan
bertanya pada Ibu?”
“Mau tanya apa?” jawab
ibu sedikit ketus.
“Kenapa Ibu melarang
Ridwan untuk bertemu dengan ayah Ridwan?Bukankah ibu yang selalu mengajariku
untuk selalu berbakti kepada orang tua? Ridwan takut, Bu, Ridwan takut jika
dianggap sebagai anak durhaka..”
Seperti biasa, ibu
hanya diam.
Jarak pasar tidak
terlalu jauh.Sekitar tiga puluh menit kami telah sampai.Aku melirik ibu. Dia
hanya diam. Tatapannya lurus ke depan dan terlihat ada air mata yang menggenang
di pelupuk matanya.
Aku tak ingin
membebaninya dengan banyak tanya. Mungkin jika aku menemukan orang yang bernama
Sinta, ibu bisa tersenyum. Aku turun dari mobil dan masuk ke pasar. Aku
bertanya dari satu orang ke orang yang lain. Semua tertuju pada seorang
perempuan dengan baju you can see
merah muda dan rok kuning yang sedang bernyanyi menghibur pengunjung pasar.
Aku mendekatinya, “Mbak
Sinta!!?” panggilku agak berteriak.
Dia menengok, “Yes, me..”
Aku terkejut,“Ya Tuhan,
banci!!” ucapku spontan.
Otakku mulai berpikir
keras.Apa hubungannya ibu dengan Sinta? Apa dia teman ibu? Atau? Ah, terlalu
banyak tanya di otakku yang hampir saja membuatku lupa akan niat awalku untuk
mempertemukannya dengan ibu.
Aku menatap matanya sangat
dalam, seperti ada yang aneh pada raut mukanya.
“Duh, gantengnya..”
godanya dengan suara seperti perempuan sambil merangkul pundakku.
“Maaf, Mbak Sinta, ada
yang ingin bertemu..” ucapku pelan sambil melepaskan tangannya dari pundakku.
Ketika aku berbalik
badan, ternyata ibu sudah ada di belakangku.
“Maafkan aku, Mas..”
ibu menangis.
“Kamu??Lalu dia?”Sinta
menunjukku.
“Iya, dia Ridwan. Dia
anakmu. Maaf aku telah mengingkari janjiku untuk tidak mempertemukanmu dengan
Ridwan..”
“Ini apa, Bu? Apa
maksud semua ini? Dan dia siapa?” aku sudah mulai geram dengan keadaan ini.
Sinta membuka rambut
palsunya dan memelukku, “Aku ayahmu, Nak..”
“Enggak!! Nggak
mungkin!! Ini konyol, Bu. Dia bukan ayahku kan, Bu??” aku menepis pelukannya.
Tangis ibu semakin
menjadi-jadi, “Ridwan, dengarkan ibu!! Sekarang kamu paham kan mengapa ibu
tidak mempertemukanmu dengan ayahmu? Kamu paham kan?”
“Maafkan kelakuan ayahmu
selama ini, Nak..”Dia kembali memelukku.
Tangisku pecah dalam
pelukannya. Damai sekali rasanya ketika tangannya mengusap rambutku. Aku merasakan
bagaimana dekapan seorang ayah, meski pertemuan kami, sedikit mengecewakanku.
Dia melepaskan pelukannya,
“Maaf, Ridwan, ayah harus pergi..”
“Tapi, kita baru saja
bertemu, Yah, dan..” , aku menangis.
“Suatu saat ayah pasti
akan menemuimu untuk menjelaskan semua ini. Jaga dirimu dan ibumu baik-baik,
Nak…” ayah berlari meninggalkan aku dan ibu.
Ketika aku akan
mengejarnya, ibu menahanku, “Sudahlah, Wan, tidak perlu Kamu kejar. Sejak
kematian ibumu saat melahirkanmu, ayahmu berubah..”
“Tapi kenapa, Bu, ayah
menjadi seperti itu?”
“Entahlah, hanya
dirinya yang tahu. Ayahmu menitipkanmu pada ibu dan meminta ibu untuk tidak
memberitahumu tentang orang tua kandungmu…”
TAMAT
0 comments:
Post a Comment