Saturday, January 25, 2014

Ayah ~

          Hanya tersisa setengah cangkir kopi dan setoples kue kering yang masih utuh.Selalu saja, setiap datang ke rumahku, lelaki paruh baya itu tak pernah mengarahkan jari-jari tangannya untuk mengambil makanan yang telah disuguhkan ibu.
            “Dia sudah pulang, Wan?” ibu berjalan ke arahku.
Aku tidak menjawab.Aku masih sibuk membereskan ruangan yang aku tempati untuk bercakap-cakap dengan lelaki tadi.
“Kamu masih memikirkan perkataannya tadi?”
Kembali, aku hanya diam.
“Kamu lebih percaya ucapan lelaki itu daripada ibumu sendiri??” ucapan ibu mulai terlihat mendesakku.
“Wan!” ibu menggertak.
Aku menghela napas, “Sudahlah, Bu. Aku lelah jika setiap hari harus bertengkar dengan ibu..”
“Ibu juga lelah, Wan, tapi..” ibu tidak melanjutkan bicaranya.
“Tapi apa, Bu? Permasalahannya hanya pada “ya” atau “tidak”.Mudah bukan? Tapi ibu seperti mempersulit keadaan dengan tidak pernah memberi kepastian padaku..”
Kami berdua terdiam.Aku tidak berani untuk menatap mata ibu.Raut mukanya terlihat gelisah membungkus beban atas semua tanyaku.
“Jika kamu masih mau mempercayai lelaki itu, lebih baik kamu tidak usah lagi menganggapku sebagai ibumu…..!” Ibu berjalan menuju kamarnya.
Aku biarkan ibu meninggalkanku sendirian.Kata-kata ibu begitu mengangetkanku.Aku tidak siap dengan ancaman ibu yang dilontarkan kepadaku.Batinku serasa dihujam oleh mortir dengan butiran peluru yang begitu mematikan. Sesak!!Ucapan terakhir ibu terus berputar-putar memenuhi isi kepalaku.Apa aku anak yang durhaka???Apakah aku salah, sebagai seorang anak yang mempunyai naluri untuk menanyakan keberadaan ayah dan ibuku yang sebenarnya???
Dua puluh satu tahun sudah aku hidup dengan ibu angkatku.Dia tidak pernah memberi tahuku tentang siapa dan dimana orang tua kandungku.Dia selalu mengatakan bahwa kedua orang tuaku telah meninggal dunia sejak aku masih kecil.
“Apa benar ayahku masih hidup, Bu?” ucapku lirih.
Ibu hanya diam dan menengok ke arahku.
Aku berjalan mengambil kunci mobil dan pergi.
“Kamu mau kemana, Wan?”
Teriakan ibu tak mampu menembus akal sehatku.Aku meninggalkannya begitu saja.Kupacu mobilku dengan sangat kencang. Tanpa arah! Tanpa tujuan!Beberapa kendaraan yang hampir saja tertabrak olehku, terdengar membunyikan klakson.Bahkan tak jarang diantara mereka ada yang berhenti, lalu berkoar kepadaku.Sampai akhirnya, mobilku diberhentikan oleh lampu merah. Pikiranku melayang-layang tak karuan…..
            “Kamu tinggal disini, sekarang?” kata lelaki itu lirih sambil memperhatikan sekeliling rumahku.
Aku hanya tersenyum.
“Manis sekali senyummu! Persis seperti bapakmu!!” nada bicaranya sudah mulai naik.Dia tersenyum ramah.
“Maksud, Anda?”
“Iya, Bapakmu…”
“Maaf, kata ibu, ayahku sudah meninggal ketika aku masih kecil. Ya, kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu..” aku menyela.
Lelaki itu menatapku lekat-lekat, “Lantas, kamu percaya begitu saja kalau bapakmu sudah meninggal??”
Biiippp!!! Biippbiip...!!!
Seketika aku terbangun dari lamunanku.
“Apa aku harus pulang dan membicarakannya baik-baik dengan ibu? Tetapi jika ibu menolak, apa aku harus memaksanya? Atau aku harus menunggu kedatangan lelaki itu lagi kerumahku untuk mencari informasi darinya? Ya Tuhan..” gumamku.
Kupikir bukan pilihan yang salah jika malamini aku tinggal di rumah temanku sebelum aku benar-benar yakin memutuskan untuk pulang menemui ibu.
Esok harinya, saat fajar belum sempurna menciumi rerumputan yang basah, aku memutuskan untuk pulang.Baru saja aku sampai di depan rumah, terlihat ibu sedang ribut dengan lelaki yangsepertinya tidak asing dalam pandanganku.
“Ridwan itu bukan darah dagingmu!!Jadi kamu tidak pantas melarangnya untuk bertemu dengan bapaknya!!”
“Kamu itu hanya sebatas teman bapaknya Ridwan!!Jadi, tidak ada hak untukmu mengusik hal itu!!” Aku akui,  memang, Ridwan bukan darah dagingku!! Tetapi dia anakku. Dan ingat! Aku tidak akan pernah sekalipun memberitahu dimana bapaknya sekarang!!”
“Bu..”Aku memanggilnya pelan.
“Ridwan?”
Aku mendekatinya, “Apa maksud ucapan Ibu?”
Ibu hanya diam dan berusaha menyembunyikan tangisnya.
“Mana mungkin wanita keras kepala itu akan menceritakan kejadian yang sebenarnya padamu..” lelaki itu tertawa, dan berlalu pergi meninggalkan kami.
Aku mengikutinya, “Jaga bicara Anda!”
“Sudahlah, Wan!! Biarkan dia pergi!!! Jangan percaya ocehannya karena dia memang tidak berhak untuk berkata apapun padamu. Ibu sudah lelah!!” tangis ibu pecah.
“Tapi, Bu..”
“Cukup, Wan!!Jangan pernah kamu memanggilku “Ibu” jika kamu terus saja mendesakku!!”
Ah, kembali, lagi-lagi, aku membuat sedih hati perempuan ini. Aku menyusulnya ke dalam rumah.Ada rasa menyesal yang terus menyelimuti hati.  jelas terdengar suara tangisnya dari dalam kamar.
Ketika keluar,ibu menyerahkan secarik kertas padaku.
Aku menatapnya, “Apa ini, Bu?”
“Antarkan ibu ke alamat itu..”
Saat itu juga kami berangkat.Tidak banyak tanyaku pada ibu waktu itu.Berat rasanya untuk berucap satu katapun.
Kulirik arlojiku, sudah pukul lima sore.
Sempat beberapa kali aku melihat ibu menatap keluar mobil.Terlihat jelas langit menjelang malam, dengan semburan warna jingga dari seniman Agung yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat.
Mobilku berhenti tepat di depan rumah yang alamatnya tertera pada selembar kertas yang ibu berikan. Megah!!Tapi, rumah ini lebih tepat disebut kastil. Tak ada rumah lain di sekitarnya. Ya, hanya sendiri berdiri dalam sepi.Terlihat beberapa kunang-kunang, terbang di ambang ilalang yang bergoyang karena angin yang melenguhinya.
“Wan, benar ini alamatnya?”
“Ya, Ridwan juga kurang tahu, Bu. Ridwan hanya mengikuti apa yang ada pada kertas itu..”
Ibu hanya diam.
“Memangnya ini alamat siapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga akan mengetahuinya..”Ibu turun dari mobil dan berjalan menuju rumah itu.
Aku mengikutinya.Rasa penasaran ini terus menggebu-gebu dengan sikap ibu yang semakin memantapkan langkahnya menuju rumah itu.Tepat di hadapanku sebuah pintu gerbang yang berdiri begitu congkak seolah ingin bercerita banyak pada kami.
“Mungkin yang punya rumah sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu..”
“Ibu yakin, orang yang ibu cari masih tinggal di tempat ini…”
“Tapi, Bu, rumah ini seperti sudah lama tidak ditempati..” aku mencoba meyakinkan ibu.
“Ya, memang ibu mendapatkan alamat ini sejak dua tahun yang lalu.Tapi, jika rumahnyanya sudah pindah pasti ibu diberi tahu alamat barunya..” ulang ibu meyakinkanku dan itu membuaku sedikit jenuh.
Kami menunggu cukup lama di tempat itu.Keyakinan ibu atas alamat itulah yang terus menjadi alasan keberadaan kami di sini selama berjam-jam.
“Apa tidak sebaiknya jika mencari penginapan dulu untuk kita tidur malam ini, Bu?”
“Tunggu sebentar lagi, Wan, mungkin orangnya sedang pergi…” ucap ibu.
“Bu, mana mungkin ada orang yang menempati rumah ini?”
Pelan, aku menuntunnya untuk kembali ke mobil.Tubuhnya terasa dingin ketika jari-jariku menyentuhnya.Terasa sekali bahwa ibuku sudah mulai rapuh.Bodohnya aku yang sempat berpikir untuk memaksanya menjelaskan duduk perkara siapakah aku ini sebenarnya.
Malam mulai beku.Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Ya, siklus alam, selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan lelah.
****

Semesta kembali bersinar.Ibu sudah menungguku di mobil untuk kembali ke alamat yang ibu yakini kebenarannya.Aku langsung menuju alamat itu.Tampak jelas sekali ada guratan kecemasan pada muka ibu.Mungkin karena jalanan yang sedikit macet dan khawatir jika harus datang untuk kedua kalinya tanpa hasil apapun.
Sama!!! Rumah itu masihsama seperti tadi malam. Sepi!
“Sepertinya sama saja, Bu. Dari tadi malam kita ke tempat ini dan ini kedua kalinya pada waktu yang berbeda, tidak ada perubahan..”
“Begini saja, Bu, Ibu tunggu di mobil sebentar biar Ridwan cari informasi tentang pemilik rumah ini..”
Aku keluar dari mobil dan berjalan jauh hingga menemui beberapa rumah.Tetapi tidak ada satu rumahpun yang terlihat ada penghuninya.
Seseorang menjawil pundakku, “Nak….”
Aku terkejut.
“Sedang apa Kamu disini?”
“Oh, begini, Pak, saya sedang mencari pemilik rumah kosong di ujung jalan sana. Bapak tahu siapa pemiliknya?”
“Pergi saja ke pasar di dekat perempatan lampu merah disana, pasti Kamu akan menemuinya. Namanya Sinta..” ucapnya sambil menunjuk arah utara.
“Sinta? Oh, ya, Pak. Terimakasih..”
Aku berlari ke mobil dan langsung menuju pasar.
“Loh, Wan, kita mau kemana?” tanya ibu.
“Ke pasar, Bu. Nama pemilik rumah itu, Sinta.
Ibu hanya mengangguk. Sepertinya ibu sudah tidak asing dengan nama itu.
“Bu, boleh Ridwan bertanya pada Ibu?”
“Mau tanya apa?” jawab ibu sedikit ketus.
“Kenapa Ibu melarang Ridwan untuk bertemu dengan ayah Ridwan?Bukankah ibu yang selalu mengajariku untuk selalu berbakti kepada orang tua? Ridwan takut, Bu, Ridwan takut jika dianggap sebagai anak durhaka..”
Seperti biasa, ibu hanya diam.
Jarak pasar tidak terlalu jauh.Sekitar tiga puluh menit kami telah sampai.Aku melirik ibu. Dia hanya diam. Tatapannya lurus ke depan dan terlihat ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Aku tak ingin membebaninya dengan banyak tanya. Mungkin jika aku menemukan orang yang bernama Sinta, ibu bisa tersenyum. Aku turun dari mobil dan masuk ke pasar. Aku bertanya dari satu orang ke orang yang lain. Semua tertuju pada seorang perempuan dengan baju you can see merah muda dan rok kuning yang sedang bernyanyi menghibur pengunjung pasar.
Aku mendekatinya, “Mbak Sinta!!?” panggilku agak berteriak.
Dia menengok, “Yes, me..
Aku terkejut,“Ya Tuhan, banci!!” ucapku spontan.
Otakku mulai berpikir keras.Apa hubungannya ibu dengan Sinta? Apa dia teman ibu? Atau? Ah, terlalu banyak tanya di otakku yang hampir saja membuatku lupa akan niat awalku untuk mempertemukannya dengan ibu.
Aku menatap matanya sangat dalam, seperti ada yang aneh pada raut mukanya.
“Duh, gantengnya..” godanya dengan suara seperti perempuan sambil merangkul pundakku.
“Maaf, Mbak Sinta, ada yang ingin bertemu..” ucapku pelan sambil melepaskan tangannya dari pundakku.
Ketika aku berbalik badan, ternyata ibu sudah ada di belakangku.
“Maafkan aku, Mas..” ibu menangis.
“Kamu??Lalu dia?”Sinta menunjukku.
“Iya, dia Ridwan. Dia anakmu. Maaf aku telah mengingkari janjiku untuk tidak mempertemukanmu dengan Ridwan..”
“Ini apa, Bu? Apa maksud semua ini? Dan dia siapa?” aku sudah mulai geram dengan keadaan ini.
Sinta membuka rambut palsunya dan memelukku, “Aku ayahmu, Nak..”
“Enggak!! Nggak mungkin!! Ini konyol, Bu. Dia bukan ayahku kan, Bu??” aku menepis pelukannya.
Tangis ibu semakin menjadi-jadi, “Ridwan, dengarkan ibu!! Sekarang kamu paham kan mengapa ibu tidak mempertemukanmu dengan ayahmu? Kamu paham kan?”
“Maafkan kelakuan ayahmu selama ini, Nak..”Dia kembali memelukku.
Tangisku pecah dalam pelukannya. Damai sekali rasanya ketika tangannya mengusap rambutku. Aku merasakan bagaimana dekapan seorang ayah, meski pertemuan kami, sedikit mengecewakanku.
Dia melepaskan pelukannya, “Maaf, Ridwan, ayah harus pergi..”
“Tapi, kita baru saja bertemu, Yah, dan..” , aku menangis.
“Suatu saat ayah pasti akan menemuimu untuk menjelaskan semua ini. Jaga dirimu dan ibumu baik-baik, Nak…” ayah berlari meninggalkan aku dan ibu.
Ketika aku akan mengejarnya, ibu menahanku, “Sudahlah, Wan, tidak perlu Kamu kejar. Sejak kematian ibumu saat melahirkanmu, ayahmu berubah..”
“Tapi kenapa, Bu, ayah menjadi seperti itu?”
“Entahlah, hanya dirinya yang tahu. Ayahmu menitipkanmu pada ibu dan meminta ibu untuk tidak memberitahumu tentang orang tua kandungmu…”

TAMAT

0 comments:

Post a Comment