“Pergilah
jika hanya ingin memperkeruh suasana. Aku lelah!”
Dia
tak memperdulikan ucapanku. Semakin mendekat. Kini tangan kirinya merengkuh
pundakku. Ketika itu, warna jingga perlahan menyesap ke ufuk, membiaskan
sisa-sisa sinar jejak surya bak aurora keemasan yang menggantung sendu di kaki
langit. Ah, aku tak ingin beranjak. Semakin tenggelam dalam suasana ini dan tak
lama setelah itu, kepalaku telah tersandar di bahu kirinya.
Sedikitpun
dia tidak beranjak dari sisi kananku sejak tiga puluh menit yang lalu, bahkan
setelah ucapan terakhirku dengan intonasi tinggi.
“Menangislah.
Buat apa berpura-pura kuat? Menangislah karena memang kamu ingin
menangis. Itu akan membuatmu lebih baik,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
Hatiku benar-benar kalut. Aku
menyerah!
”Mengapa Tuhan begitu tega membawaku dalam keadaan seperti
ini? Aku benar-benar tidak mengerti..”
Dia melirikku dan tersenyum tanpa memberi jawaban.
“Kali ini tekatku sudah bulat. Aku akan berhenti menulis dan
memulai langkah baru untuk menemukan kembali apa yang memang benar-benar Tuhan
gariskan untukku..”
“Jika kamu sudah lelah dalam melangkah, dan belum menemukan
apa yang digariskan Tuhan untukmu, bagaimana?”
Aku terdiam.
Ombak masih berkejar-kejaran tanpa memperdulikan gelam yang
semakin nyata. Bahkan semakin mendekati tempatku duduk dengannya. Semakin
mendekat. Dan akhirnya kubuiarkan setengah tubuhku basah. Titik-titik air yang pecah
karena ombak yang menghantam tubuhku saling melompat dan mengenai bibirku yang
kering oleh terpaan angin. Reflek, aku melumat bibir bawahku yang terasa asin.
Hah, betapa dia kekal setia, asin tak pernah meninggalkan air laut dalam surut
dan pasang.
Berdeham, “Mari kuantar kamu pulang..” dia berbisik di
telinga kananku.
“Aku belum siap untuk pulang,” kembali, aku tertunduk, “aku
belum siap masuk kembali ke kamarku dan melihat komputerku yang masih menyala,
dan novel-novel yang berserakan di tempat tidurku. Aku belum siap!”
Aku kembali menangis.
“Apa kamu tak ingin novel-novel yang berserakan di tempat
tidurmu adalah novel karyamu sendiri? Apa kamu sudah benar-benar tidak
menginginkannya?”
“Lantas bagaimana dengan semua mimpi-mimpimu yang bahkan
setiap hari kamu ucapkan di hadapanku? Tentang melanjutkan sekolah di Universitas
Indonesia? Menjadi seorang penulis dengan karya yang bisa menginspirasi banyak
orang? Dan yang terakhir, menjadi seorang pengajar Bahasa Indonesia di
Australia?” rutuknya panjang. Bahkan dia seperti tidak memberi kesempatan
untukku berbicara.
Sontak aku berteriak sekencang-kencangnya. Menutup telingaku
rapat-rapat agar aku tidak kembali mendengar semua ucapannya.
“Cukup! Aku benar-benar muak! Berhentilah berujar dengan
semua kata-katamu yang hanya membuat telingaku jengah! Detik ini juga aku tidak
akan bermimpi! Pun tidak akan menjadi pemimpi ulung yang kemana-mana memikul
asa!” aku terisak.
“Untuk semua mimpi yang pernah aku ucapkan, anggap saja
hanya angin yang melenguh..” tambahku.
Kini dia beringsut dari kananku, “Pecundang!” sergahnya
sambil menunjukku.
“Aku bukan pecundang!!”
“Apa? Seorang penulis yang baru beberapa kali tulisannya
ditolak oleh penerbit, kini membiarkan mimpi-mimpinya menguap begitu saja. Itu
sikap pecundang!”
“Beberapa kali? Baru beberapa kali kamu bilang? Ini sudah
lebih dari lima belas kali!!”
“Baru lima belas kali saja sudah lembek! Hah, pecundang!”
Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku tidak mau meneruskan
perdebatan yang hanya akan memberi efek negatif pada hubunganku dengannya.
Benar kata ibu, pada semua kelabilanku, dia adalah lelaki tepat. Dia yang
mengajariku merangkai satu demi satu setiap mimpi yang aku gantungkan.
Memasangnya lekat-lekat agar tidak jatuh sebelum aku sampai pada tujuan.
“Mataharinya sudah semakin tenggelam..” dia seperti
mencairkan suasana.
“Indah bukan?” lanjutnya.
“Iya, senja memang indah. Tapi sebentar lagi dia akan
hilang..”
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, “Mimpimu lebih indah
dari senja bahkan sangat berharga. Jaga dia baik-baik dan jangan sampai
hilang..”
Aku mengerti mengapa dia begitu istimewa. Dia adalah cahaya
dalam gelap, payung dalam hujan, dan rimbun pohon dalam terik mentari.
“Aku masih ingin menemanimu berjalan, namun bukan untuk
meretas mimpi..” napasnya terdengar begitu berat.
“Untuk apa?”
Kembali, dia menghela napas dan menahan bicaranya selama
lima detik, “Kamu sendiri nantinya yang akan menjawab..”
“Aku tidak akan menulis lagi. Aku bukan penulis yang
mahir..”
“Tapi menulis adalah hobimu. Dia yang akan membuat semua
orang di sekelilingmu bangga, terutama ayah dan ibu..”
Deg! Paru-paruku sesak. Aku merasakan aliran darahku berhenti
setelah mendengar kata ‘ayah dan ibu’. Betapa bodohnya aku dengan segala
tingkahku tadi. Aku kembali menangis.
“Sudah saatnya kamu bangun dari mimpimu. Ibaratkan senja
adalah mimpimu. Simpan rapi dalam kotak kaca, karena kotak kaca tidak punya
celah. Dan ketika kamu sudah sampai pada tujuanmu, tunjukkan betapa indahnya
dia..”
Ah, sekujur tubuhku benar-benar mati rasa. Aku lumpuh oleh
segala tutur katanya. Ringan, menyusup dalam akal sehatku dan menebar hawa
positif yang menenangkan.
“Terimakasih..” ucapku.
Dia mengangguk pelan, “Minggu depan aku akan masuk asrama
untuk melanjutkan pendidikanku. Ini pertemuan terakhir kita. Lima tahun lagi aku
akan ke Australia untuk menemuimu, di tempatmu mengajar..”
-TAMAT-
#UniversitasIndonesia
0 comments:
Post a Comment