Saturday, January 25, 2014

Senja dalam Kotak Kaca ~


            “Pergilah jika hanya ingin memperkeruh suasana. Aku lelah!”
            Dia tak memperdulikan ucapanku. Semakin mendekat. Kini tangan kirinya merengkuh pundakku. Ketika itu, warna jingga perlahan menyesap ke ufuk, membiaskan sisa-sisa sinar jejak surya bak aurora keemasan yang menggantung sendu di kaki langit. Ah, aku tak ingin beranjak. Semakin tenggelam dalam suasana ini dan tak lama setelah itu, kepalaku telah tersandar di bahu kirinya.
            Sedikitpun dia tidak beranjak dari sisi kananku sejak tiga puluh menit yang lalu, bahkan setelah ucapan terakhirku dengan intonasi tinggi.
            “Menangislah. Buat apa berpura-pura kuat? Menangislah karena memang kamu ingin menangis. Itu akan membuatmu lebih baik,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
            Hatiku benar-benar kalut. Aku menyerah!
”Mengapa Tuhan begitu tega membawaku dalam keadaan seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti..”
Dia melirikku dan tersenyum tanpa memberi jawaban.
“Kali ini tekatku sudah bulat. Aku akan berhenti menulis dan memulai langkah baru untuk menemukan kembali apa yang memang benar-benar Tuhan gariskan untukku..”
“Jika kamu sudah lelah dalam melangkah, dan belum menemukan apa yang digariskan Tuhan untukmu, bagaimana?”
Aku terdiam.
Ombak masih berkejar-kejaran tanpa memperdulikan gelam yang semakin nyata. Bahkan semakin mendekati tempatku duduk dengannya. Semakin mendekat. Dan akhirnya kubuiarkan setengah tubuhku basah. Titik-titik air yang pecah karena ombak yang menghantam tubuhku saling melompat dan mengenai bibirku yang kering oleh terpaan angin. Reflek, aku melumat bibir bawahku yang terasa asin. Hah, betapa dia kekal setia, asin tak pernah meninggalkan air laut dalam surut dan pasang.
Berdeham, “Mari kuantar kamu pulang..” dia berbisik di telinga kananku.
“Aku belum siap untuk pulang,” kembali, aku tertunduk, “aku belum siap masuk kembali ke kamarku dan melihat komputerku yang masih menyala, dan novel-novel yang berserakan di tempat tidurku. Aku belum siap!”
Aku kembali menangis.
“Apa kamu tak ingin novel-novel yang berserakan di tempat tidurmu adalah novel karyamu sendiri? Apa kamu sudah benar-benar tidak menginginkannya?”
“Lantas bagaimana dengan semua mimpi-mimpimu yang bahkan setiap hari kamu ucapkan di hadapanku? Tentang melanjutkan sekolah di Universitas Indonesia? Menjadi seorang penulis dengan karya yang bisa menginspirasi banyak orang? Dan yang terakhir, menjadi seorang pengajar Bahasa Indonesia di Australia?” rutuknya panjang. Bahkan dia seperti tidak memberi kesempatan untukku berbicara.
Sontak aku berteriak sekencang-kencangnya. Menutup telingaku rapat-rapat agar aku tidak kembali mendengar semua ucapannya.
“Cukup! Aku benar-benar muak! Berhentilah berujar dengan semua kata-katamu yang hanya membuat telingaku jengah! Detik ini juga aku tidak akan bermimpi! Pun tidak akan menjadi pemimpi ulung yang kemana-mana memikul asa!” aku terisak.
“Untuk semua mimpi yang pernah aku ucapkan, anggap saja hanya angin yang melenguh..” tambahku.
Kini dia beringsut dari kananku, “Pecundang!” sergahnya sambil menunjukku.
“Aku bukan pecundang!!”
“Apa? Seorang penulis yang baru beberapa kali tulisannya ditolak oleh penerbit, kini membiarkan mimpi-mimpinya menguap begitu saja. Itu sikap pecundang!”
“Beberapa kali? Baru beberapa kali kamu bilang? Ini sudah lebih dari lima belas kali!!”
“Baru lima belas kali saja sudah lembek! Hah, pecundang!”
Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku tidak mau meneruskan perdebatan yang hanya akan memberi efek negatif pada hubunganku dengannya. Benar kata ibu, pada semua kelabilanku, dia adalah lelaki tepat. Dia yang mengajariku merangkai satu demi satu setiap mimpi yang aku gantungkan. Memasangnya lekat-lekat agar tidak jatuh sebelum aku sampai pada tujuan.
“Mataharinya sudah semakin tenggelam..” dia seperti mencairkan suasana.
“Indah bukan?” lanjutnya.
“Iya, senja memang indah. Tapi sebentar lagi dia akan hilang..”
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, “Mimpimu lebih indah dari senja bahkan sangat berharga. Jaga dia baik-baik dan jangan sampai hilang..”
Aku mengerti mengapa dia begitu istimewa. Dia adalah cahaya dalam gelap, payung dalam hujan, dan rimbun pohon dalam terik mentari.
“Aku masih ingin menemanimu berjalan, namun bukan untuk meretas mimpi..” napasnya terdengar begitu berat.
“Untuk apa?”
Kembali, dia menghela napas dan menahan bicaranya selama lima detik, “Kamu sendiri nantinya yang akan menjawab..”
“Aku tidak akan menulis lagi. Aku bukan penulis yang mahir..”
“Tapi menulis adalah hobimu. Dia yang akan membuat semua orang di sekelilingmu bangga, terutama ayah dan ibu..”
Deg! Paru-paruku sesak. Aku merasakan aliran darahku berhenti setelah mendengar kata ‘ayah dan ibu’. Betapa bodohnya aku dengan segala tingkahku tadi. Aku kembali menangis.
“Sudah saatnya kamu bangun dari mimpimu. Ibaratkan senja adalah mimpimu. Simpan rapi dalam kotak kaca, karena kotak kaca tidak punya celah. Dan ketika kamu sudah sampai pada tujuanmu, tunjukkan betapa indahnya dia..”
Ah, sekujur tubuhku benar-benar mati rasa. Aku lumpuh oleh segala tutur katanya. Ringan, menyusup dalam akal sehatku dan menebar hawa positif yang menenangkan.
“Terimakasih..” ucapku.
Dia mengangguk pelan, “Minggu depan aku akan masuk asrama untuk melanjutkan pendidikanku. Ini pertemuan terakhir kita. Lima tahun lagi aku akan ke Australia untuk menemuimu, di tempatmu mengajar..”


-TAMAT-

#UniversitasIndonesia

0 comments:

Post a Comment