Thursday, January 30, 2014

Catatan untuk Malaikat ~

Dear Tuan Malaikat,

            Sesetia asin dalam luasnya lautan, aku mencintaimu dengan segala kepiawaianku meramu rasa. Kerasnya karang pada setiap hantaman ombak, senyumku menjelma tameng hati yang selalu mengajakmu untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak perlu untuk dipikirkan. Sebuah hal kecil misalnya, aku pernah kecewa, itu hanya hal kecil! Iya :) Apa kamu pernah mengertiku di kala itu? Sungguh, hanya beberapa serangga merah merayap berbaris lucu yang membuat otakku untuk tidak terus memikirkan sebuah kekecewaan itu. Mudah bukan? Satu masalah usai :)
            Wahai Tuan, ini tentang sebuah rindu yang mengkarat. Tanpa ujung. Bahkan lebih usang dari nisan di pekuburan. Tak terjamah! Ah, aku belum ingin berhenti menanti, tapi ketika hati ini menjerit kesakitan, apalah daya? Saya bukan anda, iya, Malaikat..
            Tolong mendekatlah, Tuan.. satu langkah untuk membuat isak ini berhenti. Dua langkah, untuk aku benar-benar terjaga nyaman karena kau telah nampak dalam ruang tatap  kita. Dan tiga langkah, ini mungkin terdengar berat.. hanya saja, aku menginginkannya. Bukan aku mendahului Tuhan dengan menebak ini yang terakhir, tapi hati lebih jarang salah dari apa yang kita pikirkan. Beberapa detik yang lalu, hatiku berbisik pada beberapa celah terbuka dalam otakku, katanya, “Jika lelaki itu maju hingga langkah ke tiga, mintalah ia untuk mengulurkan tangan dan menghapus air matamu. Jika kamu tanya ‘mengapa?’ jawabannya mudah, ia sudah tidak mencintaimu, dan ini yang terakhir tangannya mengusap pipimu dan menyeka air matamu..”
           

"Dan, bukankah aku telah memberimu kepercayaan untuk ‘kembali’ menjaga hatiku. Pun, sebelum itu harus kamu tau bahwa kepercayaan itu tak ubahnya kertas, sekali ia kusut, maka akan susah untuk bagus lagi . . ."


Beberapa waktu yang lalu, sebuah kenang tentang “Berusaha menjadi orang yang bisa mempertanggungjawabkan setiap janjinya..” menelusup begitu saja pada deret lamunanku akan terngiang kamu yang, emm.. sedang dalam proses menemukan titik jenuhku mencintaimu dan berharap aku akan menucapkan sebuah frasa tolong itu lagi. Ah, mulutku sudah terlalu ricuh untuk itu. Aku tidak bisa, dan mulai tidak terbiasa. Jadi, maaf :) Aku akan bertahan, untuk cinta kita dan dengan janjimu beberapa kala waktu.
           
Tertanda,


Kekasihmu ˘)ε˘`)

#UniversitasIndonesia

Saturday, January 25, 2014

Yang Menjaga ~


“Aku sudah tidak bisa lagi memeluk raganya. Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya nanar.
“Bersyukurlah.” Tambahnya pendek.

***

Sepasang burung kecil dengan bulu hitam kecoklatan yang tak pernah dia tahu namanya hinggap di atas kubur ibunya. Bercicit kecil kemudian saling bersitatap sebentar.
“Titip ibuku ya,” bisiknya halus dari bibirnya yang kering.
Angin tandus terus berhembus kasar menampar kedua pipinya.Sekujur tubuhnya.Begitu deru.Kencang.Tangisnya pecah dalam kerontang. Daun-daun kamboja jepang saling berayun, bahkan tak jarang menunduk dan membelai nisan-nisan tak beraturan.
“Tak baik menangisi yang sudah pergi. Insa Allah, dia bersama Tuhan di surga..”
Gadis itu sedikit terkejut oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.Dia hanya menoleh lalu kembali ke posisinya. Mendekap nisan ibunya, erat, bahkan seperti tak sudi dia mengijinkan selarik angin pun menyela pelukannya.
“Mari pulang..” ajak orang tadi.
Niswa enggan beringsut. Air mata tak henti-hentinya menganak sungai pada kedua pipinya.Isaknya memecah sunyi. Tubuhnya luruh, jatuh simpuh di atas tanah kubur tanpa gundukan itu. Pada kubur ibunya, disentuhkannya dada, tangan, bahkan sampai ke lengan. Rasa hangat mulai menjalar di setiap jengkal tubuhnya, menyingkap helai-helai kenangan pada duduk takzim ibunya di teras rumah dengan bibir berhias doa dan dengan sabar selalu menunggu kepulangan Niswa setiap akhir pekan dari luar kota.
Berjam-jam ibu Niswa selalu menunggu kepulangan anak bungsu dari tiga bersaudara itu.Menyiapkan segala jenis makanan kesukaan Niswa dan menatanya dengan rapi di meja makan untuk menyambut kepulangan Niswa.
Ketika mendengar deru mobil Niswa di depan rumah, ibunya langsung menghambur tanpa mengingat lagi sandal jepitnya. Dipeluknya Niswa denga sangat erat.Hangat. Seperti nisan di pekuburan ini. Beberapa menit setelah itu, ibunya sedikit merenggangkan peluk. Kedua telapak tangannya meraba pipi Niswa dengan tatapan matanya yang lekat menyapu dari atas sampai bawah, sembari menyakinkan hatinya bahwa Niswa masihlah anak perempuan satu-satunya yang dulu ia lahirkan dari rahimnya.
“Aku pulang, Bu. Sengaja aku mampir di pinggir jalan untuk membeli durian kesukaan ibu..”
Niswa begitu hafal dengan durian kesukaan ibunya.Ketika tangan kanannya menjulurkan dua buah durian yang besar itu, rasa lelahnya terbayar oleh senyum teduh yang tersungging dari bibir ibunya.
“Ibu sudah menyiapkan gudeg manggar untukmu. Ayo masuk..”
Tangan keriput ibunya menggandeng Niswa masuk ke dalam rumah, ke ruang tengah, dimana sudah terdapat banyak sekali hidangan kesukaan Niswa yang menyibukkan ibunya sejak Subuh tadi.
Seorang kakak laki-lakinya telah duduk di salah satu kursi dengan ukiran cendrawasih yang saling menatap. Mungkin sekitar lima menit yang lalu.
“Kak Salim kemana, Kak?”tanya Niswa sepontan kepada lelaki berpeci hitam lusuh itu, ketika mengetahui salah satu orang dari anggota keluarganya tidak terlihat di meja makan.
“Emm..”
“Sudah, makan dulu, Nak.Keburu dingin makanannya,” potong ibu Niswa.
Dengan cekatan, kedua tangan ibunya mengambil piring dan menaruh nasi di atasnya.Tidak ketinggalan, gudeg manggar, makanan kesukaan Niswa dibubuhkan dengan porsi yang agak berlebihan.Setelah menaruh sendok pada seporsi nasi gudeng manggar untuk anaknya, ibu Niswa menyodorkannya pada Niswa.
“Ibu tak ingin menyuapiku?” Niswa nenatap ibunya manja, “Besok minggu depan kita mungkin tidak bertemu, Bu. Niswa ada tugas keluar kota..”
Tanpa aba-aba ibu Niswa meletakkan sendok yang ada pada piring makan Niswa.Mengangkat piringnya sebatas diafragma dengan tangan kirinya. Ya, kini tangan kanannya mulai bersentuhan dengan bibir  Niswa, menimbulkan rasa ajaib yang bahkan tak sanggup dia serahkan dalam kata seindah apapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Brukk! Bruukk!!
Tenang dalam meja makan pecah oleh gedoran pintu depan yang tiba-tiba.
“Mas Salim..?”Niswa berdiri.Ketika satu kakinya mulai melangkah untuk menghampiri anak tertua yang lahir dari rahim ibunya, tangan kiri ibu Niswa menahan anak gadisnya itu untuk mendekati Salim.
“Lepaskan, Bu. Biarkan aku berbicara pada Kak Salim..”Niswa sedikit berontak.
Ibunya menggeleng pelan.Tatapnya mulai berkabut, bahkan hampir berembun. Semakin kencang tangannya menahan Niswa, “Jangan, Nak, kakakmu masih dalam pengaruh alkohol..” ibu Niswa mulai terisak.
“Kak! Sampai kapan kakak akan mabuk-mabukan terus? Ibu sudah tua, Kak, jaga dia..”
“Halah!Kamu ini anak kecil, tahu apa kamu??”Salim berkoar dengan segala keangkuhannya.
Dia berjalan terhuyun-huyun menuju meja makan. Tubuhnya tersandar tak berdaya pada kursi dan tangannya langung menyambar segelas air putih yang telah disiapkan ibu untuk Niswa.Beberapa kali tangannya memukul-mukul meja makan.
Semua masih stay pada posisinya.Sampai detik ini belum ada yang berani mendekati Salim.Niswa benar-benar paham posisi ibunya ketika itu.Ya, ketakutan.Hanya itu.Tangan ibu Niswa semakin erat memegang tangan Niswa, dan mulai terasa dingin pada ujung-ujung jarinya.
Hah, sejak kepergiaan ayah Niswalima tahun yang lalu, Salim menjadi pribadi yang bahkan dapat dikatakan sudah tidak mempunyai arah hidup lagi. Hari-harinya hanya dia habiskan untuk mabuk dan berjudi tanpa memperdulikan ibunya yang sudah sepuh.
Ibu Niswa mendekat, “Sudahlah, Nak, cukuplah hidupmu kamu sia-siakan hanya untuk berjudi dan mabuk-mabukan..” air matanya menggenang di pelupuk mata.
Salim bangkit dengan tubuhnya yang masih sempoyongan.mendekati ibu, “Salim minta uang, Bu..” bau alkohol sontak menyeruak memenuhi ruang tatap mereka. Ibu Niswa sedikit menahan napas, hingga kini tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sesak.
“Ibu sudah tidak ada uang, Nak..” tangisnya pecah.
Kedua tangan Salim seketika mendorong tubuh renta itu.Ibu Niswa terjerembab ke lantai. Jerit bercampur tangis air mata menggema dalam ruang tengah. Suasana damai di meja makan menjadi peristiwa yang melantun dengan sajak elegi.Ibu Niswa tak sadarkan diri.
“Kak, kakak ini anak macam apa? Tega melukai ibunya sendiri! Dimana akal sehat, Kakak?!?”Niswa menaikan tekanan suaranya dalam beberapa oktaf.
“Diam kamu!!”Salim beringsut beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Dia memilih meninggalkan pertengkaran itu.
Air mata Niswa terus bercucuran. Kakak laki-laki satunya yang sedari tadi hanya memperhatikan perkelahian itu memilih untuk masuk ke kamar.
Niswa menghampiri ibunya. Dalam pangkuan Niswa, tangan kanannya terus membelai wajah lusuh ibunya sambil berharap ibunya akan sadar tak lama lagi.
Beberapa menit berselang, ibunya tak kunjung sadarkan diri.Sampai akhirnya, Niswa dan Salim memutuskan untuk membawa ibu mereka ke rumah sakit terdekat.Hati Niswa berkabut tebal.
Kalut!
Semua perasaan tumpah, bercampur menjadi satu disana.Tak sepatah katapun dia ucapan ketika di dalam ambulan bersama Salim.Bahkan untuk bertatap pun, Niswa enggan.
Sudah setengah jam berlalu, beberapa dokter dan perawat masih sibuk berada di dalam ruang ICU. Raut muka Niswa penuh kegelisahan, marah, bahkan benci.Salim masih diam seribu bahasa di kursi ruang tunggu.Ekspresi mukanya datar, seperti tak ada rasa salah telah membuat ibunya masuk rumah sakit.Dia terus memain-mainkan jari tangannya untuk membunuh waktu.Ya, hanya itu.
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” seorang dokter keluar dari ruang ICU.
Tanpa senyum.Dia hanya menggeleng.
Niswa mengguncang-guncangkan tubuh dokter itu, “Bagaimana, Dok?”
Salim terlihat bangkit dari tempatnya bungkam.Berjalan pelan ke arah Niswa dan seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU tersebut.
Matanya menatap Niswa dengan takzim, hingga membuat Niswa sedikit jengah dan berlalu bergitu saja meninggalkan Salim sendiri di ambang pintu.
Niswa bergegas menuju tempat dimana ibunya dibaringkan.Masih terlihat beberapa perawat disana.
“Apa-apaan, Sus?Mengapa semua peralatannya di lepas??Ibu saya sudah sembuh, Sus?”Niswa terlihat sedikit kebingungan.
“Yang sabar ya, Mbak..” seorang suster menepuk-nepuk pundak Niswa.
Niswa telihat semakin kebingungan. Ada apa ini?
Salim tak memperdulikan Niswa dengan mukanya yang penuh tanya. Dia memilih mendekati ibunya.
“Ibu….” tiba-tiba Salim menangis memeluk ibunya dalam-dalam.Menyibakkan sebuah kain putih yang menutup seluruh tubuh ibunya. Dia menangis.
Niswa membalikkan tubuhnya yang beberapa menit yang lalu membelakangi Salim.Pas, matanya langsung bertatapan dengan raga ibunya yang sudah kaku.Perempuan itu meninggal karena serangan jantung.
“Ibu..”Niswa mengguncang-ngguncangkan tubuh ibunya.
Dia menarik napasnya dalam-dalam dan langsung menarik tangan Salim, “Lihat!! Lihat apa yang telah kamu perbuat!! Puas kamu sekarang?”Niswa terisak, “Kamu telah membunuh seorang wanita tak berdosa yang telah melahirkanmu dengan bertaruhkan nyawanya. Kini, ah! Anak durhaka kamu!!”
Salim tak memperdulikan Niswa yang memberondongnya dengan segala tutur kata.Dia menagis sejadi-jadinya di hadapan jenazah ibunya.Sepertinya, Salim telah menyesali perbuatannya beberapa jam di meja makan tadi.Sampai kini, dia telah menghilangkan nyawa ibu kandungnya sendiri.
“Jangan pernah lagi kau sentuh tubuh ibu! Pergi kamu! Aku muak denganmu..!!”Niswa mendorong tubuh Salim hingga jatuh tersungkur ke lantai.
“Kau tau, betapa hati seorang ibu seperti dalamnya samudera. Selalu sanggup menyimpan apapun yang meluncur ke dalamnya! Termasuk semua ucapanmu yang menyakitinya, perbuatanmu yang membuatnya jengkel. Tapi, sekalipun dia tidak pernah membalasnya..” tambah Niswa.
“Aku menyesal, Niswa..” ucap Salim lirih.
“Menyesal kamu bilang? Hah, pergi kamu jauh-jauh dari sini. Ibu tidak menginginkan anak sepertimu lagi..!”
Benar, hari itu hari terakhir ibu Niswa menyuapi anak perempuannya itu.Hari terakhir memeluk Niswa. Dan hari terakhir melantunkan doa di teras rumah sambil menunggu kepulangan Niswa dari luar kota.
Hari ini, tepat satu tahun kepergian ibu Niswa.Ketika itu, setelah jenazah ibunya disemayamkan, Niswa meninggalkan rumahnya di Jogja dan memilih untuk membeli rumah di daerah Solo, tidak terlalu jauh memang, sengaja, agar dia bisa sering-sering mengunjungi makan ibunya.
“Bu, ini aku anak perempuanmu.Datang untuk memeluk pekuburanmu. Semoga Tuhan memberikan tempat yang nyaman di surga untukmu..”
Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari tenggorokan Niswa sebelum akhirnya terpatahkan oleh bandang tangis yang membasahi nisan itu. Di kanan kirinya angin masih terus menderu.
Gersang.
Menerbangkan debu-debu yang mendesau membentuk irama dan lenyap begitu saja. Kembali, lagi-lagi, debu-debu itu mengingatkan Niswa pada hangat pelukan ibunya yang sekarang sudah tidak akan bisa lagi dia rasakan, yang takkan pernah terganti oleh siapapun, yang takkan pernah bisa kembali, sampai suatu hari nanti Tuhan melenyapkannya menjadi hamburan debu yang fana dan akan menemukan mereka kembali di Surga.
Sepasang burung kecil itu kembali manatap Niswa.Seakan mereka paham betapa sedihnya hati Niswa saat ini.Seutas suara kembali menelusup dalam telinga Niswa dan memaksanya untuk perlahan bangkit dari pekuburan ibunya.
“Mari pulang, ini sudah sore. Jika kamu masih ingin berlama-lama disini, akan ku antar kamu lagi, besok..”
Dia Rangga, calon suami Niswa. Pria yang baru beberapa bulan ini dia kenal dan langsung mengajaknya untuk ta’aruf.
“Seminggu lagi aku akan menikah, Bu. Perkenalkan, ini Rangga, calon suamiku. Aku minta restu pada ibu, “Niswa menghela napas dalam-dalam dan menahan bicaranya selama lima detik, “Aku akan kembali ke tempat ini setiap satu bulan sekali untuk memelukmu, Bu..”
Mereka beringsut pergi meninggalkan makam itu.Ufuk menyesap surya dalam balutan jingga yang memesona.Dalam hening cakrawala, mereka berjalan agak berjauhan menuju pintu gerbang makan yang berdiri congkak dalam radius satu meter di hadapan mereka.Niswa kembali menengok kebelakang dan masih dia dapati dua burung dengan bulu kecoklatan tadi, mematuk-matuk sesuatu di atas tanah yang menangkup jasad ibunya.
“Berhentilah mengisak, Niswa..”
Aku sudah tidak bisa lagi memeluk raganya.Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya nanar.
“Bersyukurlah.” Tambahnya pendek.
“Tapi tidak baik jika menangisi kuburan..” Rangga menyanggah.
“Aku tidak menangisi kuburan. Aku mendoakan ibuku..” jawab Niswa datar.
Rangga terlihat diam oleh ucapan terakhir Niswa. Sepertinya dia mengalah.Dia tak ingin memperkeruh suasana hati Niswa dengan mengajaknya berargumen hal yang tidak seharusnya diperdebatkan.
Lima belas menit mereka berdiri di pinggir jalan raya untuk menunggu taksi.Saling bungkam. Namun sesekali mereka mencuri pandangan untuk saling memastikan keadaan satu sama lain di antara mereka baik-baik saja.
“Itu ada kursi, duduklah sembari menunggu taksi yang datang..” ucap Rangga.
Tersenyum. Menggeleng pelan, “Tidak, aku ingin berdiri di sampingmu saja..”
Selang beberapa saat sebuah taksi terlihat dari kejauhan.Tangan kanan Rangga melambai untuk memberhentikan taksi tersebut.
Mereka berdua naik, “Alamat ini ya, Pak..” suruh Rangga dengan menunjukkan sebuah kartu bertuliskan alamat gedung untuk pernikahan mereka. Sengaja Rangga ingin mampir ke tempat tersebut sebelum mengantarkan Niswa pulang ke rumahnya.
“Pulang ziarah, Pak?” sopir taksi itu membuka percakapan.
Rangga dan Niswa saling menatap.Hanya dua detik.Selebihnya, Niswa membuang muka ke arah jendela taksi.
“Iya, Pak. Kami baru saja ziarah ke makam ibu calon istri saya..” jawab Rangga. Sopir taksi itu bisa melihat senyum ramah Rangga dari kaca sepion di kiri atas kepalanya.Pria itu memang tak pernah sungkan mengumbar senyuman pada siapapun, sekalipun pada orang yang baru dia kenal.
Tak ada satu patah katapun yang terucap dari mulut Rangga dan Niswa untuk saling berbincang ringan.
Bungkam.
Mata Niswa terus menatap kosong ke luar jendela. Entah apa yang dia lihat, lalu lalang kendaraan kah? Langit senjakah?Atau hanya tatapan kosong sekadarnya?
“Mau mampir untuk makan?” ajak Rangga.
Niswa menggeleng pelan tanpa menatap ke arah Rangga.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Taksi yang mereka tumpangi berhentidi depan gedung Wayang Orang Sriwedari. Rangga menyerahkan satu lembar uang seratus ribuan dan satu lembar uang lima puluh ribuan kepada sopir taksi.
“Ini sudah cukup, Pak..” kata sopir tersebut yang hanya mengambil satu lembar uang seratus ribuan.
“Loh, bukannya ongkosnya seratus empat puluh enam ribu, Pak?”
Tersenyum, “Jika nanti bapak bertemu peminta disana, serahkan satu lembar uang lima puluh ribuan ini untuknya. Niatkan sedekah untuk ibu dari calon istri bapak.Insa Allah, barakah..”
“Amin.. Terimakasih banyak, Pak..” sahut Rangga sambil melepas seat bealt, dan sesegera mungkin membuka pintu taksi setelah dia melihat Niswa telah turun lebih dahulu.

***

Senja di gedung Wayang Orang Sriwedari. Hah, gelap hampir mendominasi keadaan. Sekitar tiga puluh menit Rangga dan Niswa berada di dalam gedung tersebut untuk melihat persiapan pernikahan mereka.
“Tinggal tiga puluh persen lagi persiapannya..” celetuk Rangga dengan sepontan.
Kedua ujung bibir Niswa terangkat.Manis sekali.
“Hah, akan ada yang menjagaku setelah itu..” Niswa berjalan beberapa langkah di depan Rangga, “Ibu telah tenang di atas sana. Dijaga oleh Tuhan..”
Rangga berdeham, “Sudah ku niatkan semuanya, Niswa. Ketika kamu memeluk nisan ibumu tadi, aku telah berjanji di dalam hati kepada beliau untuk menjagamu..”
Tak henti-hentinya senyuman terus berhias manis di wajah Niswa. Ada kebahagiaan sederhana yang Niswa peroleh dari pria itu.Tiba-tiba, tangan Rangga memetik sekuntum melati yang sedang mekar-mekarnya lalu menyelipkan di telinga Niswa.Anggun.
Malam mulai beku.Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Ya, siklus alam, selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan lelah.Mereka berjalan menuju jalan raya yang masih terlihat agak ramai untuk kembali memberhentikan taksi.
“Bisakah kita ke Jogja lagi? Aku ingin makan gudeg manggar..”
“Bisa dong, apa sih yang enggak buat kamu..” sahut Rangga.
Preeettt...”
Mereka terkikik membelah keramaian lalu lalang kendaraan.

-TAMAT-

#UniversitasIndonesia

Senja dalam Kotak Kaca ~


            “Pergilah jika hanya ingin memperkeruh suasana. Aku lelah!”
            Dia tak memperdulikan ucapanku. Semakin mendekat. Kini tangan kirinya merengkuh pundakku. Ketika itu, warna jingga perlahan menyesap ke ufuk, membiaskan sisa-sisa sinar jejak surya bak aurora keemasan yang menggantung sendu di kaki langit. Ah, aku tak ingin beranjak. Semakin tenggelam dalam suasana ini dan tak lama setelah itu, kepalaku telah tersandar di bahu kirinya.
            Sedikitpun dia tidak beranjak dari sisi kananku sejak tiga puluh menit yang lalu, bahkan setelah ucapan terakhirku dengan intonasi tinggi.
            “Menangislah. Buat apa berpura-pura kuat? Menangislah karena memang kamu ingin menangis. Itu akan membuatmu lebih baik,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
            Hatiku benar-benar kalut. Aku menyerah!
”Mengapa Tuhan begitu tega membawaku dalam keadaan seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti..”
Dia melirikku dan tersenyum tanpa memberi jawaban.
“Kali ini tekatku sudah bulat. Aku akan berhenti menulis dan memulai langkah baru untuk menemukan kembali apa yang memang benar-benar Tuhan gariskan untukku..”
“Jika kamu sudah lelah dalam melangkah, dan belum menemukan apa yang digariskan Tuhan untukmu, bagaimana?”
Aku terdiam.
Ombak masih berkejar-kejaran tanpa memperdulikan gelam yang semakin nyata. Bahkan semakin mendekati tempatku duduk dengannya. Semakin mendekat. Dan akhirnya kubuiarkan setengah tubuhku basah. Titik-titik air yang pecah karena ombak yang menghantam tubuhku saling melompat dan mengenai bibirku yang kering oleh terpaan angin. Reflek, aku melumat bibir bawahku yang terasa asin. Hah, betapa dia kekal setia, asin tak pernah meninggalkan air laut dalam surut dan pasang.
Berdeham, “Mari kuantar kamu pulang..” dia berbisik di telinga kananku.
“Aku belum siap untuk pulang,” kembali, aku tertunduk, “aku belum siap masuk kembali ke kamarku dan melihat komputerku yang masih menyala, dan novel-novel yang berserakan di tempat tidurku. Aku belum siap!”
Aku kembali menangis.
“Apa kamu tak ingin novel-novel yang berserakan di tempat tidurmu adalah novel karyamu sendiri? Apa kamu sudah benar-benar tidak menginginkannya?”
“Lantas bagaimana dengan semua mimpi-mimpimu yang bahkan setiap hari kamu ucapkan di hadapanku? Tentang melanjutkan sekolah di Universitas Indonesia? Menjadi seorang penulis dengan karya yang bisa menginspirasi banyak orang? Dan yang terakhir, menjadi seorang pengajar Bahasa Indonesia di Australia?” rutuknya panjang. Bahkan dia seperti tidak memberi kesempatan untukku berbicara.
Sontak aku berteriak sekencang-kencangnya. Menutup telingaku rapat-rapat agar aku tidak kembali mendengar semua ucapannya.
“Cukup! Aku benar-benar muak! Berhentilah berujar dengan semua kata-katamu yang hanya membuat telingaku jengah! Detik ini juga aku tidak akan bermimpi! Pun tidak akan menjadi pemimpi ulung yang kemana-mana memikul asa!” aku terisak.
“Untuk semua mimpi yang pernah aku ucapkan, anggap saja hanya angin yang melenguh..” tambahku.
Kini dia beringsut dari kananku, “Pecundang!” sergahnya sambil menunjukku.
“Aku bukan pecundang!!”
“Apa? Seorang penulis yang baru beberapa kali tulisannya ditolak oleh penerbit, kini membiarkan mimpi-mimpinya menguap begitu saja. Itu sikap pecundang!”
“Beberapa kali? Baru beberapa kali kamu bilang? Ini sudah lebih dari lima belas kali!!”
“Baru lima belas kali saja sudah lembek! Hah, pecundang!”
Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku tidak mau meneruskan perdebatan yang hanya akan memberi efek negatif pada hubunganku dengannya. Benar kata ibu, pada semua kelabilanku, dia adalah lelaki tepat. Dia yang mengajariku merangkai satu demi satu setiap mimpi yang aku gantungkan. Memasangnya lekat-lekat agar tidak jatuh sebelum aku sampai pada tujuan.
“Mataharinya sudah semakin tenggelam..” dia seperti mencairkan suasana.
“Indah bukan?” lanjutnya.
“Iya, senja memang indah. Tapi sebentar lagi dia akan hilang..”
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, “Mimpimu lebih indah dari senja bahkan sangat berharga. Jaga dia baik-baik dan jangan sampai hilang..”
Aku mengerti mengapa dia begitu istimewa. Dia adalah cahaya dalam gelap, payung dalam hujan, dan rimbun pohon dalam terik mentari.
“Aku masih ingin menemanimu berjalan, namun bukan untuk meretas mimpi..” napasnya terdengar begitu berat.
“Untuk apa?”
Kembali, dia menghela napas dan menahan bicaranya selama lima detik, “Kamu sendiri nantinya yang akan menjawab..”
“Aku tidak akan menulis lagi. Aku bukan penulis yang mahir..”
“Tapi menulis adalah hobimu. Dia yang akan membuat semua orang di sekelilingmu bangga, terutama ayah dan ibu..”
Deg! Paru-paruku sesak. Aku merasakan aliran darahku berhenti setelah mendengar kata ‘ayah dan ibu’. Betapa bodohnya aku dengan segala tingkahku tadi. Aku kembali menangis.
“Sudah saatnya kamu bangun dari mimpimu. Ibaratkan senja adalah mimpimu. Simpan rapi dalam kotak kaca, karena kotak kaca tidak punya celah. Dan ketika kamu sudah sampai pada tujuanmu, tunjukkan betapa indahnya dia..”
Ah, sekujur tubuhku benar-benar mati rasa. Aku lumpuh oleh segala tutur katanya. Ringan, menyusup dalam akal sehatku dan menebar hawa positif yang menenangkan.
“Terimakasih..” ucapku.
Dia mengangguk pelan, “Minggu depan aku akan masuk asrama untuk melanjutkan pendidikanku. Ini pertemuan terakhir kita. Lima tahun lagi aku akan ke Australia untuk menemuimu, di tempatmu mengajar..”


-TAMAT-

#UniversitasIndonesia

Bulanku Fatamorgana ~


“Setelah ini, apa kamu masih percaya kalau perbedaan itu indah? Masih percaya kalau perbedaan bisa buat kamu bahagia?”
“Cukup, Net!! Cukup!! Dia mencintaiku, begitupula aku sebaliknya…” aku menangis.
Neta keluar dari kamarku dan membanting pintu.
            Seketika kamarku ibarat kapal pecah setelah Neta datang dan mengeluarkan semua barang pemberian Juan yang sampai saat ini masih kusimpan rapi di almari kamar. Hanya barang-barang itu yang aku punya setelah kepergian Juan satu tahun yang lalu. Kepergiannya yang tanpa pamit setelah tiga bulan sebelumnya menyatakan cinta padaku, membuatku jera untuk kembali merasakan cinta.
            Aku paham sekarang mengapa mamaku sangat melarang hubunganku dengannya. Dia bukanlah laki-laki yang dapat dipercaya. Hah, bodohnya aku yang percaya begitu saja dan menitipkan sekeping hatiku padanya.
            Tok.. tok.. tokk!! Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Ada surat buat Non Dea..” suara bibi lirih dari balik pintu.
“Masukkan saja lewat bawah pintu, Bi..”
Aku berjalan menuju pintu untuk mengambil surat itu sambil menyingkirkan beberapa barang yang berserakan di lantai. Kelihatannya seperti surat cinta. Sedikit rasa tidak percaya dan tekejut, terbubuh nama Juan di amplop surat itu. Aku membukanya perlahan dan kupastikan amplop merah muda ini dalam kondisi baik.
“Untuk apa aku baca surat ini? Aku sudah cukup kecewa dengan Juan..” pikirku. Aku melemparnya begitu saja.
Sore ini aku putuskan untuk pergi ke taman kota untuk sedikit menghilangkan rasa penat dihatiku.
Beberapa lampu taman sudah menyala.
Indah!
Tak selaras dengan pilunya hatiku saat ini. Tanpa kusadari air mataku mulai menetes. Aku menghela napas. Keadaan sekitar mulai beku. Jingganya senja seperti berusaha mengurai setiap apa yang pernah aku lalui bersama Juan di taman ini.
“Ayo, Juan..!! Kejar aku!!” Aku masih terus berlari di sepanjang tepi danau taman.
“Bisakah kita berhenti sebentar, Dea? Aku lelah sekali..” Juan berteriak padaku dan berhenti berlalri.
Aku menghampirinya.
“Kamu kenapa, Juan?”
Juan masih terus membungkuk dan memegangi lututnya.
“Kau sakit?” tanyaku khawatir. Aku mengintipnya mukanya dari bawah, dan tiba-tiba saja Juan lari meninggalkanku. Hah, selalu saja aku tertipu olehnya.
“Juan!!! Ini nggak lucu!!” teriakku kesal.
Iya, begitulah cara Juan menghiburku. Terkesan aneh untuk pertama kalinya, namun aku selalu rindu saat-saat seperti itu jika sehari saja Juan tak melakukannya. Dia sangat istimewa! Istimewa sekali! Dia berbeda dengan banyak lelaki yang aku kenal. Sosoknya lebih dari sempurna untukku. Bahkan sering kali aku berpikir bahwa Juan adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
“Kupikir hari ini sudah cukup, Dea. Mari kita pulang..” Juan mengulurkan tangan.
“Ha? Hanya lari saja?”
“Iya, tapi besok aku punya sebuah kejutan untukmu..” Juan tersenyum.
Juan dan sepedanya mengantarku pulang. Sederhana memang, tapi ini indah. Bahkan lebih indah dari matahari senja yang tenggelam. Angin yang membawa hawa dingin memaksaku untuk lebih erat berpegangan pada Juan. Ada kenyamanan tersendiri ketika itu. Kenyamanan yang pasti tidak akan aku temui pada orang lain.
 “Oke, kita udah sampai. Dan.. selamat beristirahat, Tuan Putri..” Juan tertawa kecil.
“Iya, Pangeran Juan..”
“Tunggu sebentar, Dea. Coba lihat ke atas, di sana ada bintang dan bulan..”
“Ya kan udah malam, jadi wajar dong kalau ada bulan sama bintang..”
“Bukan itu maksudku.. apa kamu tau sesuatu dari mereka??”
“Dea!! Masuk!!” teriak mama.
Iya, mamaku memang tidak pernah suka jika aku pulang diantar oleh Juan. Sudah terlalu banyak argumen tentang Juan yang aku dengar dari mama. Bukan durhaka, hanya saja aku sudah bukan anak kecil lagi yang untuk urusan cinta juga harus ada campur tangan dari orang tua.
Pagi mulai merekah. Ketika kubuka jendela kamarku, mentari baru saja terbit di ufuk timur. Tiba-tiba saja dari arah luar sebuah pesawat kertas melintas di atas kepalaku. Tak ada orang yang terlihat di luar sana. Keadaan masih lengang. Hanya beberapa burung kecil yang berkicau.
“Pesawat? Dari siapa ya” batinku.
“Cepet mandi ya, Cantik. Aku tunggu kamu di taman kota. Juan.”
Surat dari Juan. Aku bergegas menuju kamar mandi dan sesegera mungkin pergi ke taman kota untuk menghampiri Juan.
“Ma, pergi dulu ya..”
“Mau kemana, De? Sarapan dulu..” tegur mama.
Tanpa menghiraukan mama aku langsung mengambil sepeda dan pergi menemui Juan. Jalan masih begitu sepi. Hanya ada suara kayuhan sepedaku yang memecah diam.
“Juan!? Kamu di mana?” aku berteriak. Tak terlihat satu orangpun di taman. Air sungai masih begitu tenang dan beberapa daun terlihat masih meneteskan embun.
Seseorang menepuk pundakku, “Darrrr!!” Juan tertawa.
“Ha… ha… ha!! Lucu!!”
“Marah.. marah.. marah..? Senyum dong, De. Kamu bawa pesawat dari aku nggak?”
“Bawa kok. Kenapa suratnya lewat pesawat kertas??” tanyaku penasaran.
“Memang kamu pengennya lewat apa?” Juan menarikku untuk duduk.
Aku hanya diam. Juan melirikku.
“Kamu tau nggak? Ini memang hanya pesawat kertas. Hanya kertas dan rapuh. Tapi serapuh-rapuhnya dia jika kamu menulis sebuah harapan padanya dia mampu menerbangkan harapanmu sampai ke atas sana..” Juan menunjuk keatas.
Birunya langit pagi begitu memesona mata. Sinar mentari mulai terlihat anggun menerobos celah-celah ranting dan membias dalam aliran air sungai yang tenang. Juan menyodorkan beberapa kertas origami dan pensil warna padaku.
“Apa yang ingin kamu tulis, De?” Juan menengok padaku.
“Aku ingin kita selalu bersama. Kamu?” aku tersenyum padanya.
“Aku ingin kamu bahagia..” Juan menatapku nanar.
Aku terpaku.
Terlihat sekali di matanya terpancar cinta yang tulus untukku. Aku menatap matanya dalam. Terasa aneh memang, belum pernah hatiku dihinggapi perasaan yang seperti ini. Sudah beberapa kali aku jatuh cinta namun Juan sosok yang beda yang diberikan Tuhan untukku.
Ada rasa tak ingin kehilangan dia meski aku baru tiga bulan menjalin cinta dengannya.
“Juan?”
“Iya, De. Ada apa?”
“Apakah kau akan terus menemaniku?” air mataku mulai menetes.
Juan memelukku. Dan itu nyaman sekali.
“Sudah siap meluncurkan pesawat?” tanya Juan.
Aku mengangguk.
“Satu… Dua.. Tiga!!!”
Pesawat kami terbang bersama-sama. Mengikuti hembusan angin pagi dan menerbangkan harapan kami. Ketika sampai di atas danau, tiba-tiba saja pesawatku terjatuh ke air dan hanyut. Ah, lagi-lagi, aku teringat ucapan mama tempo hari untuk tidak dekat-dekat lagi dengan Juan karena kata mama kami berbeda.
“Yaah.. pesawatku jatuh, Juan..”
Juan tertawa, “Lihat tuh pesawatku!!”
“Kamu sudah makan, Dea?” Juan bertanya padaku.
Aku menggeleng.
“Mau sarapan bareng?”
Juan langsung menarik tanganku dan mengajakku berlari untuk mengambil sepeda. Kami meninggalkan taman kota.
“Makan yang banyak ya, Tuan Putri..”
Kami tertawa. Hari itu nampak berbeda. Tidak hanya hari, Juanpun nampak berbeda. Dan siapa sangka sebelumnya ternyata hari itu hari terakhirku bersama Juan.
Gelap mendominasi keadaan. Bintang mulai bertaburan dan bulan merah terlihat menawan. Aku masih bertahan di sini. Menepis semua ingatanku tentang Juan yang telah pergi begitu saja meninggalkanku. Kini sosoknya hanyalah fatamorgana.
“De..” seseorang mengagetkanku dari belakang.
Aku menghapus air mataku, “Juan?”
“Aku Neta, De. Mama menyuruhku untuk menjemputmu pulang..”
“Untuk apa aku pulang? Jika..” aku kembali menangis.
“Sebelumnya maaf untuk apa yang telah aku lakukan tadi siang, dan maaf juga aku telah lancang membaca suratmu dari Juan..”
Aku melirik Neta.
“Sekarang aku dan mama sudah mengetahui semuanya. Kau tau, Dea, Juan kini telah tenang di sana. Ada penggalan kata dari suratnya yang mengatakan bahwa Juan ingin selalu melihat kamu bahagia..” Neta merangkulku.
Aku berdiri dan berjalan menuju tepi sungai, “Mana mungkin aku dapat bahagia sedangkan Juan tak lagi di sampingku?” tangisku pecah.
“Sudahlah, De. Jika kamu terus-terusan menangis Juan pasti akan kecewa padamu. Biarkan dia tenang di atas sana..” Neta menunjuk ke atas.
Hah, tepat saat itu aku teringat kata-kata Juan tentang pelajaran dari bulan dan bintang bahwa bintang tak akan bisa bersinar tanpa bulan. Ya, bintang saja untuk bersinar membutuhkan pantulan sinar dari bulan. Sementara aku? Juan adalah bulanku. Bagaimana aku dapat bahagia tanpa Juan?


TAMAT