“Aku sudah tidak bisa
lagi memeluk raganya. Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya
nanar.
“Bersyukurlah.”
Tambahnya pendek.
***
Sepasang burung kecil
dengan bulu hitam kecoklatan yang tak pernah dia tahu namanya hinggap di atas
kubur ibunya. Bercicit kecil kemudian saling bersitatap sebentar.
“Titip ibuku ya,”
bisiknya halus dari bibirnya yang kering.
Angin tandus terus
berhembus kasar menampar kedua pipinya.Sekujur tubuhnya.Begitu
deru.Kencang.Tangisnya pecah dalam kerontang. Daun-daun kamboja jepang saling
berayun, bahkan tak jarang menunduk dan membelai nisan-nisan tak beraturan.
“Tak baik menangisi
yang sudah pergi. Insa Allah, dia
bersama Tuhan di surga..”
Gadis itu sedikit
terkejut oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.Dia hanya menoleh
lalu kembali ke posisinya. Mendekap nisan ibunya, erat, bahkan seperti tak sudi
dia mengijinkan selarik angin pun menyela pelukannya.
“Mari pulang..” ajak
orang tadi.
Niswa enggan beringsut.
Air mata tak henti-hentinya menganak sungai pada kedua pipinya.Isaknya memecah
sunyi. Tubuhnya luruh, jatuh simpuh di atas tanah kubur tanpa gundukan itu.
Pada kubur ibunya, disentuhkannya dada, tangan, bahkan sampai ke lengan. Rasa
hangat mulai menjalar di setiap jengkal tubuhnya, menyingkap helai-helai
kenangan pada duduk takzim ibunya di teras rumah dengan bibir berhias doa dan
dengan sabar selalu menunggu kepulangan Niswa setiap akhir pekan dari luar
kota.
Berjam-jam ibu Niswa
selalu menunggu kepulangan anak bungsu dari tiga bersaudara itu.Menyiapkan
segala jenis makanan kesukaan Niswa dan menatanya dengan rapi di meja makan
untuk menyambut kepulangan Niswa.
Ketika mendengar deru
mobil Niswa di depan rumah, ibunya langsung menghambur tanpa mengingat lagi
sandal jepitnya. Dipeluknya Niswa denga sangat erat.Hangat. Seperti nisan di
pekuburan ini. Beberapa menit setelah itu, ibunya sedikit merenggangkan peluk.
Kedua telapak tangannya meraba pipi Niswa dengan tatapan matanya yang lekat
menyapu dari atas sampai bawah, sembari menyakinkan hatinya bahwa Niswa
masihlah anak perempuan satu-satunya yang dulu ia lahirkan dari rahimnya.
“Aku pulang, Bu.
Sengaja aku mampir di pinggir jalan untuk membeli durian kesukaan ibu..”
Niswa begitu hafal
dengan durian kesukaan ibunya.Ketika tangan kanannya menjulurkan dua buah
durian yang besar itu, rasa lelahnya terbayar oleh senyum teduh yang
tersungging dari bibir ibunya.
“Ibu sudah menyiapkan
gudeg manggar untukmu. Ayo masuk..”
Tangan keriput ibunya
menggandeng Niswa masuk ke dalam rumah, ke ruang tengah, dimana sudah terdapat
banyak sekali hidangan kesukaan Niswa yang menyibukkan ibunya sejak Subuh tadi.
Seorang kakak laki-lakinya telah duduk di salah satu kursi dengan
ukiran cendrawasih yang saling menatap. Mungkin sekitar lima menit yang lalu.
“Kak Salim kemana, Kak?”tanya Niswa sepontan kepada lelaki berpeci
hitam lusuh itu, ketika mengetahui salah satu orang dari anggota keluarganya
tidak terlihat di meja makan.
“Emm..”
“Sudah, makan dulu, Nak.Keburu dingin makanannya,” potong ibu Niswa.
Dengan cekatan, kedua tangan ibunya mengambil piring dan menaruh nasi
di atasnya.Tidak ketinggalan, gudeg manggar, makanan kesukaan Niswa dibubuhkan
dengan porsi yang agak berlebihan.Setelah menaruh sendok pada seporsi nasi
gudeng manggar untuk anaknya, ibu Niswa menyodorkannya pada Niswa.
“Ibu tak ingin menyuapiku?” Niswa nenatap ibunya manja, “Besok minggu
depan kita mungkin tidak bertemu, Bu. Niswa ada tugas keluar kota..”
Tanpa aba-aba ibu Niswa meletakkan sendok yang ada pada piring makan
Niswa.Mengangkat piringnya sebatas diafragma dengan tangan kirinya. Ya, kini
tangan kanannya mulai bersentuhan dengan bibir
Niswa, menimbulkan rasa ajaib yang bahkan tak sanggup dia serahkan dalam
kata seindah apapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Brukk! Bruukk!!
Tenang dalam meja makan pecah oleh gedoran pintu depan yang tiba-tiba.
“Mas Salim..?”Niswa berdiri.Ketika satu kakinya mulai melangkah untuk
menghampiri anak tertua yang lahir dari rahim ibunya, tangan kiri ibu Niswa
menahan anak gadisnya itu untuk mendekati Salim.
“Lepaskan, Bu. Biarkan aku berbicara pada Kak Salim..”Niswa sedikit
berontak.
Ibunya menggeleng pelan.Tatapnya mulai berkabut, bahkan hampir
berembun. Semakin kencang tangannya menahan Niswa, “Jangan, Nak, kakakmu masih
dalam pengaruh alkohol..” ibu Niswa mulai terisak.
“Kak! Sampai kapan kakak akan mabuk-mabukan terus? Ibu sudah tua, Kak,
jaga dia..”
“Halah!Kamu ini anak kecil, tahu apa kamu??”Salim berkoar dengan
segala keangkuhannya.
Dia
berjalan terhuyun-huyun menuju meja makan. Tubuhnya tersandar tak berdaya pada
kursi dan tangannya langung menyambar segelas air putih yang telah disiapkan
ibu untuk Niswa.Beberapa kali tangannya memukul-mukul meja makan.
Semua masih
stay pada posisinya.Sampai detik ini
belum ada yang berani mendekati Salim.Niswa benar-benar paham posisi ibunya
ketika itu.Ya, ketakutan.Hanya itu.Tangan ibu Niswa semakin erat memegang
tangan Niswa, dan mulai terasa dingin pada ujung-ujung jarinya.
Hah, sejak
kepergiaan ayah Niswalima tahun yang lalu, Salim menjadi pribadi yang bahkan
dapat dikatakan sudah tidak mempunyai arah hidup lagi. Hari-harinya hanya dia
habiskan untuk mabuk dan berjudi tanpa memperdulikan ibunya yang sudah sepuh.
Ibu Niswa
mendekat, “Sudahlah, Nak, cukuplah hidupmu kamu sia-siakan hanya untuk berjudi
dan mabuk-mabukan..” air matanya menggenang di pelupuk mata.
Salim
bangkit dengan tubuhnya yang masih sempoyongan.mendekati ibu, “Salim minta
uang, Bu..” bau alkohol sontak menyeruak memenuhi ruang tatap mereka. Ibu Niswa
sedikit menahan napas, hingga kini tangan kanannya memegang dadanya yang terasa
sesak.
“Ibu sudah
tidak ada uang, Nak..” tangisnya pecah.
Kedua
tangan Salim seketika mendorong tubuh renta itu.Ibu Niswa terjerembab ke
lantai. Jerit bercampur tangis air mata menggema dalam ruang tengah. Suasana
damai di meja makan menjadi peristiwa yang melantun dengan sajak elegi.Ibu
Niswa tak sadarkan diri.
“Kak, kakak
ini anak macam apa? Tega melukai ibunya sendiri! Dimana akal sehat,
Kakak?!?”Niswa menaikan tekanan suaranya dalam beberapa oktaf.
“Diam
kamu!!”Salim beringsut beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Dia memilih
meninggalkan pertengkaran itu.
Air mata
Niswa terus bercucuran. Kakak laki-laki satunya yang sedari tadi hanya
memperhatikan perkelahian itu memilih untuk masuk ke kamar.
Niswa
menghampiri ibunya. Dalam pangkuan Niswa, tangan kanannya terus membelai wajah
lusuh ibunya sambil berharap ibunya akan sadar tak lama lagi.
Beberapa
menit berselang, ibunya tak kunjung sadarkan diri.Sampai akhirnya, Niswa dan
Salim memutuskan untuk membawa ibu mereka ke rumah sakit terdekat.Hati Niswa
berkabut tebal.
Kalut!
Semua
perasaan tumpah, bercampur menjadi satu disana.Tak sepatah katapun dia ucapan
ketika di dalam ambulan bersama Salim.Bahkan untuk bertatap pun, Niswa enggan.
Sudah
setengah jam berlalu, beberapa dokter dan perawat masih sibuk berada di dalam
ruang ICU. Raut muka Niswa penuh kegelisahan, marah, bahkan benci.Salim masih
diam seribu bahasa di kursi ruang tunggu.Ekspresi mukanya datar, seperti tak
ada rasa salah telah membuat ibunya masuk rumah sakit.Dia terus memain-mainkan
jari tangannya untuk membunuh waktu.Ya, hanya itu.
“Bagaimana
keadaan ibu saya, Dok?” seorang dokter keluar dari ruang ICU.
Tanpa
senyum.Dia hanya menggeleng.
Niswa
mengguncang-guncangkan tubuh dokter itu, “Bagaimana, Dok?”
Salim
terlihat bangkit dari tempatnya bungkam.Berjalan pelan ke arah Niswa dan
seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU tersebut.
Matanya
menatap Niswa dengan takzim, hingga membuat Niswa sedikit jengah dan berlalu
bergitu saja meninggalkan Salim sendiri di ambang pintu.
Niswa
bergegas menuju tempat dimana ibunya dibaringkan.Masih terlihat beberapa
perawat disana.
“Apa-apaan,
Sus?Mengapa semua peralatannya di lepas??Ibu saya sudah sembuh, Sus?”Niswa
terlihat sedikit kebingungan.
“Yang sabar
ya, Mbak..” seorang suster menepuk-nepuk pundak Niswa.
Niswa
telihat semakin kebingungan. Ada apa ini?
Salim tak
memperdulikan Niswa dengan mukanya yang penuh tanya. Dia memilih mendekati
ibunya.
“Ibu….”
tiba-tiba Salim menangis memeluk ibunya dalam-dalam.Menyibakkan sebuah kain
putih yang menutup seluruh tubuh ibunya. Dia menangis.
Niswa
membalikkan tubuhnya yang beberapa menit yang lalu membelakangi Salim.Pas,
matanya langsung bertatapan dengan raga ibunya yang sudah kaku.Perempuan itu
meninggal karena serangan jantung.
“Ibu..”Niswa
mengguncang-ngguncangkan tubuh ibunya.
Dia menarik
napasnya dalam-dalam dan langsung menarik tangan Salim, “Lihat!! Lihat apa yang
telah kamu perbuat!! Puas kamu sekarang?”Niswa terisak, “Kamu telah membunuh
seorang wanita tak berdosa yang telah melahirkanmu dengan bertaruhkan nyawanya.
Kini, ah! Anak durhaka kamu!!”
Salim tak
memperdulikan Niswa yang memberondongnya dengan segala tutur kata.Dia menagis
sejadi-jadinya di hadapan jenazah ibunya.Sepertinya, Salim telah menyesali
perbuatannya beberapa jam di meja makan tadi.Sampai kini, dia telah
menghilangkan nyawa ibu kandungnya sendiri.
“Jangan
pernah lagi kau sentuh tubuh ibu! Pergi kamu! Aku muak denganmu..!!”Niswa
mendorong tubuh Salim hingga jatuh tersungkur ke lantai.
“Kau tau,
betapa hati seorang ibu seperti dalamnya samudera. Selalu sanggup menyimpan
apapun yang meluncur ke dalamnya! Termasuk semua ucapanmu yang menyakitinya,
perbuatanmu yang membuatnya jengkel. Tapi, sekalipun dia tidak pernah
membalasnya..” tambah Niswa.
“Aku
menyesal, Niswa..” ucap Salim lirih.
“Menyesal
kamu bilang? Hah, pergi kamu jauh-jauh dari sini. Ibu tidak menginginkan anak
sepertimu lagi..!”
Benar, hari
itu hari terakhir ibu Niswa menyuapi anak perempuannya itu.Hari terakhir
memeluk Niswa. Dan hari terakhir melantunkan doa di teras rumah sambil menunggu
kepulangan Niswa dari luar kota.
Hari ini,
tepat satu tahun kepergian ibu Niswa.Ketika itu, setelah jenazah ibunya
disemayamkan, Niswa meninggalkan rumahnya di Jogja dan memilih untuk membeli
rumah di daerah Solo, tidak terlalu jauh memang, sengaja, agar dia bisa
sering-sering mengunjungi makan ibunya.
“Bu, ini
aku anak perempuanmu.Datang untuk memeluk pekuburanmu. Semoga Tuhan memberikan
tempat yang nyaman di surga untukmu..”
Hanya
kalimat itu yang mampu keluar dari tenggorokan Niswa sebelum akhirnya
terpatahkan oleh bandang tangis yang membasahi nisan itu. Di kanan kirinya
angin masih terus menderu.
Gersang.
Menerbangkan
debu-debu yang mendesau membentuk irama dan lenyap begitu saja. Kembali,
lagi-lagi, debu-debu itu mengingatkan Niswa pada hangat pelukan ibunya yang
sekarang sudah tidak akan bisa lagi dia rasakan, yang takkan pernah terganti
oleh siapapun, yang takkan pernah bisa kembali, sampai suatu hari nanti Tuhan
melenyapkannya menjadi hamburan debu yang fana dan akan menemukan mereka
kembali di Surga.
Sepasang
burung kecil itu kembali manatap Niswa.Seakan mereka paham betapa sedihnya hati
Niswa saat ini.Seutas suara kembali menelusup dalam telinga Niswa dan
memaksanya untuk perlahan bangkit dari pekuburan ibunya.
“Mari
pulang, ini sudah sore. Jika kamu masih ingin berlama-lama disini, akan ku
antar kamu lagi, besok..”
Dia Rangga,
calon suami Niswa. Pria yang baru beberapa bulan ini dia kenal dan langsung
mengajaknya untuk ta’aruf.
“Seminggu
lagi aku akan menikah, Bu. Perkenalkan, ini Rangga, calon suamiku. Aku minta
restu pada ibu, “Niswa menghela napas dalam-dalam dan menahan bicaranya selama
lima detik, “Aku akan kembali ke tempat ini setiap satu bulan sekali untuk
memelukmu, Bu..”
Mereka
beringsut pergi meninggalkan makam itu.Ufuk menyesap surya dalam balutan jingga
yang memesona.Dalam hening cakrawala, mereka berjalan agak berjauhan menuju
pintu gerbang makan yang berdiri congkak dalam radius satu meter di hadapan
mereka.Niswa kembali menengok kebelakang dan masih dia dapati dua burung dengan
bulu kecoklatan tadi, mematuk-matuk sesuatu di atas tanah yang menangkup jasad
ibunya.
“Berhentilah
mengisak, Niswa..”
“Aku
sudah tidak bisa lagi memeluk raganya.Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya
nanar.
“Bersyukurlah.”
Tambahnya pendek.
“Tapi tidak baik jika
menangisi kuburan..” Rangga menyanggah.
“Aku tidak menangisi
kuburan. Aku mendoakan ibuku..” jawab Niswa datar.
Rangga terlihat diam
oleh ucapan terakhir Niswa. Sepertinya dia mengalah.Dia tak ingin memperkeruh
suasana hati Niswa dengan mengajaknya berargumen hal yang tidak seharusnya
diperdebatkan.
Lima belas menit mereka
berdiri di pinggir jalan raya untuk menunggu taksi.Saling bungkam. Namun
sesekali mereka mencuri pandangan untuk saling memastikan keadaan satu sama
lain di antara mereka baik-baik saja.
“Itu ada kursi,
duduklah sembari menunggu taksi yang datang..” ucap Rangga.
Tersenyum. Menggeleng
pelan, “Tidak, aku ingin berdiri di sampingmu saja..”
Selang beberapa saat
sebuah taksi terlihat dari kejauhan.Tangan kanan Rangga melambai untuk
memberhentikan taksi tersebut.
Mereka berdua naik,
“Alamat ini ya, Pak..” suruh Rangga dengan menunjukkan sebuah kartu bertuliskan
alamat gedung untuk pernikahan mereka. Sengaja Rangga ingin mampir ke tempat
tersebut sebelum mengantarkan Niswa pulang ke rumahnya.
“Pulang ziarah, Pak?”
sopir taksi itu membuka percakapan.
Rangga dan Niswa saling
menatap.Hanya dua detik.Selebihnya, Niswa membuang muka ke arah jendela taksi.
“Iya, Pak. Kami baru
saja ziarah ke makam ibu calon istri saya..” jawab Rangga. Sopir taksi itu bisa
melihat senyum ramah Rangga dari kaca sepion di kiri atas kepalanya.Pria itu
memang tak pernah sungkan mengumbar senyuman pada siapapun, sekalipun pada
orang yang baru dia kenal.
Tak ada satu patah
katapun yang terucap dari mulut Rangga dan Niswa untuk saling berbincang
ringan.
Bungkam.
Mata Niswa terus
menatap kosong ke luar jendela. Entah apa yang dia lihat, lalu lalang kendaraan
kah? Langit senjakah?Atau hanya tatapan kosong sekadarnya?
“Mau mampir untuk
makan?” ajak Rangga.
Niswa menggeleng pelan
tanpa menatap ke arah Rangga.
Tiga puluh menit
kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Taksi yang mereka tumpangi berhentidi
depan gedung Wayang Orang Sriwedari. Rangga menyerahkan satu lembar uang
seratus ribuan dan satu lembar uang lima puluh ribuan kepada sopir taksi.
“Ini sudah cukup,
Pak..” kata sopir tersebut yang hanya mengambil satu lembar uang seratus
ribuan.
“Loh, bukannya
ongkosnya seratus empat puluh enam ribu, Pak?”
Tersenyum, “Jika nanti
bapak bertemu peminta disana, serahkan satu lembar uang lima puluh ribuan ini
untuknya. Niatkan sedekah untuk ibu dari calon istri bapak.Insa Allah, barakah..”
“Amin.. Terimakasih
banyak, Pak..” sahut Rangga sambil melepas seat
bealt, dan sesegera mungkin membuka pintu taksi setelah dia melihat Niswa
telah turun lebih dahulu.
***
Senja di gedung Wayang
Orang Sriwedari. Hah, gelap hampir mendominasi keadaan. Sekitar tiga puluh
menit Rangga dan Niswa berada di dalam gedung tersebut untuk melihat persiapan
pernikahan mereka.
“Tinggal tiga puluh
persen lagi persiapannya..” celetuk Rangga dengan sepontan.
Kedua ujung bibir Niswa
terangkat.Manis sekali.
“Hah, akan ada yang
menjagaku setelah itu..” Niswa berjalan beberapa langkah di depan Rangga, “Ibu
telah tenang di atas sana. Dijaga oleh Tuhan..”
Rangga berdeham, “Sudah
ku niatkan semuanya, Niswa. Ketika kamu memeluk nisan ibumu tadi, aku telah
berjanji di dalam hati kepada beliau untuk menjagamu..”
Tak henti-hentinya
senyuman terus berhias manis di wajah Niswa. Ada kebahagiaan sederhana yang
Niswa peroleh dari pria itu.Tiba-tiba, tangan Rangga memetik sekuntum melati
yang sedang mekar-mekarnya lalu menyelipkan di telinga Niswa.Anggun.
Malam mulai
beku.Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Ya, siklus alam,
selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan
lelah.Mereka berjalan menuju jalan raya yang masih terlihat agak ramai untuk
kembali memberhentikan taksi.
“Bisakah kita ke Jogja
lagi? Aku ingin makan gudeg manggar..”
“Bisa dong, apa sih
yang enggak buat kamu..” sahut Rangga.
“Preeettt...”
Mereka terkikik
membelah keramaian lalu lalang kendaraan.
-TAMAT-
#UniversitasIndonesia