Saturday, January 25, 2014

Yang Menjaga ~


“Aku sudah tidak bisa lagi memeluk raganya. Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya nanar.
“Bersyukurlah.” Tambahnya pendek.

***

Sepasang burung kecil dengan bulu hitam kecoklatan yang tak pernah dia tahu namanya hinggap di atas kubur ibunya. Bercicit kecil kemudian saling bersitatap sebentar.
“Titip ibuku ya,” bisiknya halus dari bibirnya yang kering.
Angin tandus terus berhembus kasar menampar kedua pipinya.Sekujur tubuhnya.Begitu deru.Kencang.Tangisnya pecah dalam kerontang. Daun-daun kamboja jepang saling berayun, bahkan tak jarang menunduk dan membelai nisan-nisan tak beraturan.
“Tak baik menangisi yang sudah pergi. Insa Allah, dia bersama Tuhan di surga..”
Gadis itu sedikit terkejut oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.Dia hanya menoleh lalu kembali ke posisinya. Mendekap nisan ibunya, erat, bahkan seperti tak sudi dia mengijinkan selarik angin pun menyela pelukannya.
“Mari pulang..” ajak orang tadi.
Niswa enggan beringsut. Air mata tak henti-hentinya menganak sungai pada kedua pipinya.Isaknya memecah sunyi. Tubuhnya luruh, jatuh simpuh di atas tanah kubur tanpa gundukan itu. Pada kubur ibunya, disentuhkannya dada, tangan, bahkan sampai ke lengan. Rasa hangat mulai menjalar di setiap jengkal tubuhnya, menyingkap helai-helai kenangan pada duduk takzim ibunya di teras rumah dengan bibir berhias doa dan dengan sabar selalu menunggu kepulangan Niswa setiap akhir pekan dari luar kota.
Berjam-jam ibu Niswa selalu menunggu kepulangan anak bungsu dari tiga bersaudara itu.Menyiapkan segala jenis makanan kesukaan Niswa dan menatanya dengan rapi di meja makan untuk menyambut kepulangan Niswa.
Ketika mendengar deru mobil Niswa di depan rumah, ibunya langsung menghambur tanpa mengingat lagi sandal jepitnya. Dipeluknya Niswa denga sangat erat.Hangat. Seperti nisan di pekuburan ini. Beberapa menit setelah itu, ibunya sedikit merenggangkan peluk. Kedua telapak tangannya meraba pipi Niswa dengan tatapan matanya yang lekat menyapu dari atas sampai bawah, sembari menyakinkan hatinya bahwa Niswa masihlah anak perempuan satu-satunya yang dulu ia lahirkan dari rahimnya.
“Aku pulang, Bu. Sengaja aku mampir di pinggir jalan untuk membeli durian kesukaan ibu..”
Niswa begitu hafal dengan durian kesukaan ibunya.Ketika tangan kanannya menjulurkan dua buah durian yang besar itu, rasa lelahnya terbayar oleh senyum teduh yang tersungging dari bibir ibunya.
“Ibu sudah menyiapkan gudeg manggar untukmu. Ayo masuk..”
Tangan keriput ibunya menggandeng Niswa masuk ke dalam rumah, ke ruang tengah, dimana sudah terdapat banyak sekali hidangan kesukaan Niswa yang menyibukkan ibunya sejak Subuh tadi.
Seorang kakak laki-lakinya telah duduk di salah satu kursi dengan ukiran cendrawasih yang saling menatap. Mungkin sekitar lima menit yang lalu.
“Kak Salim kemana, Kak?”tanya Niswa sepontan kepada lelaki berpeci hitam lusuh itu, ketika mengetahui salah satu orang dari anggota keluarganya tidak terlihat di meja makan.
“Emm..”
“Sudah, makan dulu, Nak.Keburu dingin makanannya,” potong ibu Niswa.
Dengan cekatan, kedua tangan ibunya mengambil piring dan menaruh nasi di atasnya.Tidak ketinggalan, gudeg manggar, makanan kesukaan Niswa dibubuhkan dengan porsi yang agak berlebihan.Setelah menaruh sendok pada seporsi nasi gudeng manggar untuk anaknya, ibu Niswa menyodorkannya pada Niswa.
“Ibu tak ingin menyuapiku?” Niswa nenatap ibunya manja, “Besok minggu depan kita mungkin tidak bertemu, Bu. Niswa ada tugas keluar kota..”
Tanpa aba-aba ibu Niswa meletakkan sendok yang ada pada piring makan Niswa.Mengangkat piringnya sebatas diafragma dengan tangan kirinya. Ya, kini tangan kanannya mulai bersentuhan dengan bibir  Niswa, menimbulkan rasa ajaib yang bahkan tak sanggup dia serahkan dalam kata seindah apapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Brukk! Bruukk!!
Tenang dalam meja makan pecah oleh gedoran pintu depan yang tiba-tiba.
“Mas Salim..?”Niswa berdiri.Ketika satu kakinya mulai melangkah untuk menghampiri anak tertua yang lahir dari rahim ibunya, tangan kiri ibu Niswa menahan anak gadisnya itu untuk mendekati Salim.
“Lepaskan, Bu. Biarkan aku berbicara pada Kak Salim..”Niswa sedikit berontak.
Ibunya menggeleng pelan.Tatapnya mulai berkabut, bahkan hampir berembun. Semakin kencang tangannya menahan Niswa, “Jangan, Nak, kakakmu masih dalam pengaruh alkohol..” ibu Niswa mulai terisak.
“Kak! Sampai kapan kakak akan mabuk-mabukan terus? Ibu sudah tua, Kak, jaga dia..”
“Halah!Kamu ini anak kecil, tahu apa kamu??”Salim berkoar dengan segala keangkuhannya.
Dia berjalan terhuyun-huyun menuju meja makan. Tubuhnya tersandar tak berdaya pada kursi dan tangannya langung menyambar segelas air putih yang telah disiapkan ibu untuk Niswa.Beberapa kali tangannya memukul-mukul meja makan.
Semua masih stay pada posisinya.Sampai detik ini belum ada yang berani mendekati Salim.Niswa benar-benar paham posisi ibunya ketika itu.Ya, ketakutan.Hanya itu.Tangan ibu Niswa semakin erat memegang tangan Niswa, dan mulai terasa dingin pada ujung-ujung jarinya.
Hah, sejak kepergiaan ayah Niswalima tahun yang lalu, Salim menjadi pribadi yang bahkan dapat dikatakan sudah tidak mempunyai arah hidup lagi. Hari-harinya hanya dia habiskan untuk mabuk dan berjudi tanpa memperdulikan ibunya yang sudah sepuh.
Ibu Niswa mendekat, “Sudahlah, Nak, cukuplah hidupmu kamu sia-siakan hanya untuk berjudi dan mabuk-mabukan..” air matanya menggenang di pelupuk mata.
Salim bangkit dengan tubuhnya yang masih sempoyongan.mendekati ibu, “Salim minta uang, Bu..” bau alkohol sontak menyeruak memenuhi ruang tatap mereka. Ibu Niswa sedikit menahan napas, hingga kini tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sesak.
“Ibu sudah tidak ada uang, Nak..” tangisnya pecah.
Kedua tangan Salim seketika mendorong tubuh renta itu.Ibu Niswa terjerembab ke lantai. Jerit bercampur tangis air mata menggema dalam ruang tengah. Suasana damai di meja makan menjadi peristiwa yang melantun dengan sajak elegi.Ibu Niswa tak sadarkan diri.
“Kak, kakak ini anak macam apa? Tega melukai ibunya sendiri! Dimana akal sehat, Kakak?!?”Niswa menaikan tekanan suaranya dalam beberapa oktaf.
“Diam kamu!!”Salim beringsut beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Dia memilih meninggalkan pertengkaran itu.
Air mata Niswa terus bercucuran. Kakak laki-laki satunya yang sedari tadi hanya memperhatikan perkelahian itu memilih untuk masuk ke kamar.
Niswa menghampiri ibunya. Dalam pangkuan Niswa, tangan kanannya terus membelai wajah lusuh ibunya sambil berharap ibunya akan sadar tak lama lagi.
Beberapa menit berselang, ibunya tak kunjung sadarkan diri.Sampai akhirnya, Niswa dan Salim memutuskan untuk membawa ibu mereka ke rumah sakit terdekat.Hati Niswa berkabut tebal.
Kalut!
Semua perasaan tumpah, bercampur menjadi satu disana.Tak sepatah katapun dia ucapan ketika di dalam ambulan bersama Salim.Bahkan untuk bertatap pun, Niswa enggan.
Sudah setengah jam berlalu, beberapa dokter dan perawat masih sibuk berada di dalam ruang ICU. Raut muka Niswa penuh kegelisahan, marah, bahkan benci.Salim masih diam seribu bahasa di kursi ruang tunggu.Ekspresi mukanya datar, seperti tak ada rasa salah telah membuat ibunya masuk rumah sakit.Dia terus memain-mainkan jari tangannya untuk membunuh waktu.Ya, hanya itu.
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” seorang dokter keluar dari ruang ICU.
Tanpa senyum.Dia hanya menggeleng.
Niswa mengguncang-guncangkan tubuh dokter itu, “Bagaimana, Dok?”
Salim terlihat bangkit dari tempatnya bungkam.Berjalan pelan ke arah Niswa dan seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU tersebut.
Matanya menatap Niswa dengan takzim, hingga membuat Niswa sedikit jengah dan berlalu bergitu saja meninggalkan Salim sendiri di ambang pintu.
Niswa bergegas menuju tempat dimana ibunya dibaringkan.Masih terlihat beberapa perawat disana.
“Apa-apaan, Sus?Mengapa semua peralatannya di lepas??Ibu saya sudah sembuh, Sus?”Niswa terlihat sedikit kebingungan.
“Yang sabar ya, Mbak..” seorang suster menepuk-nepuk pundak Niswa.
Niswa telihat semakin kebingungan. Ada apa ini?
Salim tak memperdulikan Niswa dengan mukanya yang penuh tanya. Dia memilih mendekati ibunya.
“Ibu….” tiba-tiba Salim menangis memeluk ibunya dalam-dalam.Menyibakkan sebuah kain putih yang menutup seluruh tubuh ibunya. Dia menangis.
Niswa membalikkan tubuhnya yang beberapa menit yang lalu membelakangi Salim.Pas, matanya langsung bertatapan dengan raga ibunya yang sudah kaku.Perempuan itu meninggal karena serangan jantung.
“Ibu..”Niswa mengguncang-ngguncangkan tubuh ibunya.
Dia menarik napasnya dalam-dalam dan langsung menarik tangan Salim, “Lihat!! Lihat apa yang telah kamu perbuat!! Puas kamu sekarang?”Niswa terisak, “Kamu telah membunuh seorang wanita tak berdosa yang telah melahirkanmu dengan bertaruhkan nyawanya. Kini, ah! Anak durhaka kamu!!”
Salim tak memperdulikan Niswa yang memberondongnya dengan segala tutur kata.Dia menagis sejadi-jadinya di hadapan jenazah ibunya.Sepertinya, Salim telah menyesali perbuatannya beberapa jam di meja makan tadi.Sampai kini, dia telah menghilangkan nyawa ibu kandungnya sendiri.
“Jangan pernah lagi kau sentuh tubuh ibu! Pergi kamu! Aku muak denganmu..!!”Niswa mendorong tubuh Salim hingga jatuh tersungkur ke lantai.
“Kau tau, betapa hati seorang ibu seperti dalamnya samudera. Selalu sanggup menyimpan apapun yang meluncur ke dalamnya! Termasuk semua ucapanmu yang menyakitinya, perbuatanmu yang membuatnya jengkel. Tapi, sekalipun dia tidak pernah membalasnya..” tambah Niswa.
“Aku menyesal, Niswa..” ucap Salim lirih.
“Menyesal kamu bilang? Hah, pergi kamu jauh-jauh dari sini. Ibu tidak menginginkan anak sepertimu lagi..!”
Benar, hari itu hari terakhir ibu Niswa menyuapi anak perempuannya itu.Hari terakhir memeluk Niswa. Dan hari terakhir melantunkan doa di teras rumah sambil menunggu kepulangan Niswa dari luar kota.
Hari ini, tepat satu tahun kepergian ibu Niswa.Ketika itu, setelah jenazah ibunya disemayamkan, Niswa meninggalkan rumahnya di Jogja dan memilih untuk membeli rumah di daerah Solo, tidak terlalu jauh memang, sengaja, agar dia bisa sering-sering mengunjungi makan ibunya.
“Bu, ini aku anak perempuanmu.Datang untuk memeluk pekuburanmu. Semoga Tuhan memberikan tempat yang nyaman di surga untukmu..”
Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari tenggorokan Niswa sebelum akhirnya terpatahkan oleh bandang tangis yang membasahi nisan itu. Di kanan kirinya angin masih terus menderu.
Gersang.
Menerbangkan debu-debu yang mendesau membentuk irama dan lenyap begitu saja. Kembali, lagi-lagi, debu-debu itu mengingatkan Niswa pada hangat pelukan ibunya yang sekarang sudah tidak akan bisa lagi dia rasakan, yang takkan pernah terganti oleh siapapun, yang takkan pernah bisa kembali, sampai suatu hari nanti Tuhan melenyapkannya menjadi hamburan debu yang fana dan akan menemukan mereka kembali di Surga.
Sepasang burung kecil itu kembali manatap Niswa.Seakan mereka paham betapa sedihnya hati Niswa saat ini.Seutas suara kembali menelusup dalam telinga Niswa dan memaksanya untuk perlahan bangkit dari pekuburan ibunya.
“Mari pulang, ini sudah sore. Jika kamu masih ingin berlama-lama disini, akan ku antar kamu lagi, besok..”
Dia Rangga, calon suami Niswa. Pria yang baru beberapa bulan ini dia kenal dan langsung mengajaknya untuk ta’aruf.
“Seminggu lagi aku akan menikah, Bu. Perkenalkan, ini Rangga, calon suamiku. Aku minta restu pada ibu, “Niswa menghela napas dalam-dalam dan menahan bicaranya selama lima detik, “Aku akan kembali ke tempat ini setiap satu bulan sekali untuk memelukmu, Bu..”
Mereka beringsut pergi meninggalkan makam itu.Ufuk menyesap surya dalam balutan jingga yang memesona.Dalam hening cakrawala, mereka berjalan agak berjauhan menuju pintu gerbang makan yang berdiri congkak dalam radius satu meter di hadapan mereka.Niswa kembali menengok kebelakang dan masih dia dapati dua burung dengan bulu kecoklatan tadi, mematuk-matuk sesuatu di atas tanah yang menangkup jasad ibunya.
“Berhentilah mengisak, Niswa..”
Aku sudah tidak bisa lagi memeluk raganya.Kamu lebih beruntung.”
Rangga menatapnya nanar.
“Bersyukurlah.” Tambahnya pendek.
“Tapi tidak baik jika menangisi kuburan..” Rangga menyanggah.
“Aku tidak menangisi kuburan. Aku mendoakan ibuku..” jawab Niswa datar.
Rangga terlihat diam oleh ucapan terakhir Niswa. Sepertinya dia mengalah.Dia tak ingin memperkeruh suasana hati Niswa dengan mengajaknya berargumen hal yang tidak seharusnya diperdebatkan.
Lima belas menit mereka berdiri di pinggir jalan raya untuk menunggu taksi.Saling bungkam. Namun sesekali mereka mencuri pandangan untuk saling memastikan keadaan satu sama lain di antara mereka baik-baik saja.
“Itu ada kursi, duduklah sembari menunggu taksi yang datang..” ucap Rangga.
Tersenyum. Menggeleng pelan, “Tidak, aku ingin berdiri di sampingmu saja..”
Selang beberapa saat sebuah taksi terlihat dari kejauhan.Tangan kanan Rangga melambai untuk memberhentikan taksi tersebut.
Mereka berdua naik, “Alamat ini ya, Pak..” suruh Rangga dengan menunjukkan sebuah kartu bertuliskan alamat gedung untuk pernikahan mereka. Sengaja Rangga ingin mampir ke tempat tersebut sebelum mengantarkan Niswa pulang ke rumahnya.
“Pulang ziarah, Pak?” sopir taksi itu membuka percakapan.
Rangga dan Niswa saling menatap.Hanya dua detik.Selebihnya, Niswa membuang muka ke arah jendela taksi.
“Iya, Pak. Kami baru saja ziarah ke makam ibu calon istri saya..” jawab Rangga. Sopir taksi itu bisa melihat senyum ramah Rangga dari kaca sepion di kiri atas kepalanya.Pria itu memang tak pernah sungkan mengumbar senyuman pada siapapun, sekalipun pada orang yang baru dia kenal.
Tak ada satu patah katapun yang terucap dari mulut Rangga dan Niswa untuk saling berbincang ringan.
Bungkam.
Mata Niswa terus menatap kosong ke luar jendela. Entah apa yang dia lihat, lalu lalang kendaraan kah? Langit senjakah?Atau hanya tatapan kosong sekadarnya?
“Mau mampir untuk makan?” ajak Rangga.
Niswa menggeleng pelan tanpa menatap ke arah Rangga.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Taksi yang mereka tumpangi berhentidi depan gedung Wayang Orang Sriwedari. Rangga menyerahkan satu lembar uang seratus ribuan dan satu lembar uang lima puluh ribuan kepada sopir taksi.
“Ini sudah cukup, Pak..” kata sopir tersebut yang hanya mengambil satu lembar uang seratus ribuan.
“Loh, bukannya ongkosnya seratus empat puluh enam ribu, Pak?”
Tersenyum, “Jika nanti bapak bertemu peminta disana, serahkan satu lembar uang lima puluh ribuan ini untuknya. Niatkan sedekah untuk ibu dari calon istri bapak.Insa Allah, barakah..”
“Amin.. Terimakasih banyak, Pak..” sahut Rangga sambil melepas seat bealt, dan sesegera mungkin membuka pintu taksi setelah dia melihat Niswa telah turun lebih dahulu.

***

Senja di gedung Wayang Orang Sriwedari. Hah, gelap hampir mendominasi keadaan. Sekitar tiga puluh menit Rangga dan Niswa berada di dalam gedung tersebut untuk melihat persiapan pernikahan mereka.
“Tinggal tiga puluh persen lagi persiapannya..” celetuk Rangga dengan sepontan.
Kedua ujung bibir Niswa terangkat.Manis sekali.
“Hah, akan ada yang menjagaku setelah itu..” Niswa berjalan beberapa langkah di depan Rangga, “Ibu telah tenang di atas sana. Dijaga oleh Tuhan..”
Rangga berdeham, “Sudah ku niatkan semuanya, Niswa. Ketika kamu memeluk nisan ibumu tadi, aku telah berjanji di dalam hati kepada beliau untuk menjagamu..”
Tak henti-hentinya senyuman terus berhias manis di wajah Niswa. Ada kebahagiaan sederhana yang Niswa peroleh dari pria itu.Tiba-tiba, tangan Rangga memetik sekuntum melati yang sedang mekar-mekarnya lalu menyelipkan di telinga Niswa.Anggun.
Malam mulai beku.Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Ya, siklus alam, selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan lelah.Mereka berjalan menuju jalan raya yang masih terlihat agak ramai untuk kembali memberhentikan taksi.
“Bisakah kita ke Jogja lagi? Aku ingin makan gudeg manggar..”
“Bisa dong, apa sih yang enggak buat kamu..” sahut Rangga.
Preeettt...”
Mereka terkikik membelah keramaian lalu lalang kendaraan.

-TAMAT-

#UniversitasIndonesia

0 comments:

Post a Comment