Saturday, January 25, 2014

Bulanku Fatamorgana ~


“Setelah ini, apa kamu masih percaya kalau perbedaan itu indah? Masih percaya kalau perbedaan bisa buat kamu bahagia?”
“Cukup, Net!! Cukup!! Dia mencintaiku, begitupula aku sebaliknya…” aku menangis.
Neta keluar dari kamarku dan membanting pintu.
            Seketika kamarku ibarat kapal pecah setelah Neta datang dan mengeluarkan semua barang pemberian Juan yang sampai saat ini masih kusimpan rapi di almari kamar. Hanya barang-barang itu yang aku punya setelah kepergian Juan satu tahun yang lalu. Kepergiannya yang tanpa pamit setelah tiga bulan sebelumnya menyatakan cinta padaku, membuatku jera untuk kembali merasakan cinta.
            Aku paham sekarang mengapa mamaku sangat melarang hubunganku dengannya. Dia bukanlah laki-laki yang dapat dipercaya. Hah, bodohnya aku yang percaya begitu saja dan menitipkan sekeping hatiku padanya.
            Tok.. tok.. tokk!! Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Ada surat buat Non Dea..” suara bibi lirih dari balik pintu.
“Masukkan saja lewat bawah pintu, Bi..”
Aku berjalan menuju pintu untuk mengambil surat itu sambil menyingkirkan beberapa barang yang berserakan di lantai. Kelihatannya seperti surat cinta. Sedikit rasa tidak percaya dan tekejut, terbubuh nama Juan di amplop surat itu. Aku membukanya perlahan dan kupastikan amplop merah muda ini dalam kondisi baik.
“Untuk apa aku baca surat ini? Aku sudah cukup kecewa dengan Juan..” pikirku. Aku melemparnya begitu saja.
Sore ini aku putuskan untuk pergi ke taman kota untuk sedikit menghilangkan rasa penat dihatiku.
Beberapa lampu taman sudah menyala.
Indah!
Tak selaras dengan pilunya hatiku saat ini. Tanpa kusadari air mataku mulai menetes. Aku menghela napas. Keadaan sekitar mulai beku. Jingganya senja seperti berusaha mengurai setiap apa yang pernah aku lalui bersama Juan di taman ini.
“Ayo, Juan..!! Kejar aku!!” Aku masih terus berlari di sepanjang tepi danau taman.
“Bisakah kita berhenti sebentar, Dea? Aku lelah sekali..” Juan berteriak padaku dan berhenti berlalri.
Aku menghampirinya.
“Kamu kenapa, Juan?”
Juan masih terus membungkuk dan memegangi lututnya.
“Kau sakit?” tanyaku khawatir. Aku mengintipnya mukanya dari bawah, dan tiba-tiba saja Juan lari meninggalkanku. Hah, selalu saja aku tertipu olehnya.
“Juan!!! Ini nggak lucu!!” teriakku kesal.
Iya, begitulah cara Juan menghiburku. Terkesan aneh untuk pertama kalinya, namun aku selalu rindu saat-saat seperti itu jika sehari saja Juan tak melakukannya. Dia sangat istimewa! Istimewa sekali! Dia berbeda dengan banyak lelaki yang aku kenal. Sosoknya lebih dari sempurna untukku. Bahkan sering kali aku berpikir bahwa Juan adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
“Kupikir hari ini sudah cukup, Dea. Mari kita pulang..” Juan mengulurkan tangan.
“Ha? Hanya lari saja?”
“Iya, tapi besok aku punya sebuah kejutan untukmu..” Juan tersenyum.
Juan dan sepedanya mengantarku pulang. Sederhana memang, tapi ini indah. Bahkan lebih indah dari matahari senja yang tenggelam. Angin yang membawa hawa dingin memaksaku untuk lebih erat berpegangan pada Juan. Ada kenyamanan tersendiri ketika itu. Kenyamanan yang pasti tidak akan aku temui pada orang lain.
 “Oke, kita udah sampai. Dan.. selamat beristirahat, Tuan Putri..” Juan tertawa kecil.
“Iya, Pangeran Juan..”
“Tunggu sebentar, Dea. Coba lihat ke atas, di sana ada bintang dan bulan..”
“Ya kan udah malam, jadi wajar dong kalau ada bulan sama bintang..”
“Bukan itu maksudku.. apa kamu tau sesuatu dari mereka??”
“Dea!! Masuk!!” teriak mama.
Iya, mamaku memang tidak pernah suka jika aku pulang diantar oleh Juan. Sudah terlalu banyak argumen tentang Juan yang aku dengar dari mama. Bukan durhaka, hanya saja aku sudah bukan anak kecil lagi yang untuk urusan cinta juga harus ada campur tangan dari orang tua.
Pagi mulai merekah. Ketika kubuka jendela kamarku, mentari baru saja terbit di ufuk timur. Tiba-tiba saja dari arah luar sebuah pesawat kertas melintas di atas kepalaku. Tak ada orang yang terlihat di luar sana. Keadaan masih lengang. Hanya beberapa burung kecil yang berkicau.
“Pesawat? Dari siapa ya” batinku.
“Cepet mandi ya, Cantik. Aku tunggu kamu di taman kota. Juan.”
Surat dari Juan. Aku bergegas menuju kamar mandi dan sesegera mungkin pergi ke taman kota untuk menghampiri Juan.
“Ma, pergi dulu ya..”
“Mau kemana, De? Sarapan dulu..” tegur mama.
Tanpa menghiraukan mama aku langsung mengambil sepeda dan pergi menemui Juan. Jalan masih begitu sepi. Hanya ada suara kayuhan sepedaku yang memecah diam.
“Juan!? Kamu di mana?” aku berteriak. Tak terlihat satu orangpun di taman. Air sungai masih begitu tenang dan beberapa daun terlihat masih meneteskan embun.
Seseorang menepuk pundakku, “Darrrr!!” Juan tertawa.
“Ha… ha… ha!! Lucu!!”
“Marah.. marah.. marah..? Senyum dong, De. Kamu bawa pesawat dari aku nggak?”
“Bawa kok. Kenapa suratnya lewat pesawat kertas??” tanyaku penasaran.
“Memang kamu pengennya lewat apa?” Juan menarikku untuk duduk.
Aku hanya diam. Juan melirikku.
“Kamu tau nggak? Ini memang hanya pesawat kertas. Hanya kertas dan rapuh. Tapi serapuh-rapuhnya dia jika kamu menulis sebuah harapan padanya dia mampu menerbangkan harapanmu sampai ke atas sana..” Juan menunjuk keatas.
Birunya langit pagi begitu memesona mata. Sinar mentari mulai terlihat anggun menerobos celah-celah ranting dan membias dalam aliran air sungai yang tenang. Juan menyodorkan beberapa kertas origami dan pensil warna padaku.
“Apa yang ingin kamu tulis, De?” Juan menengok padaku.
“Aku ingin kita selalu bersama. Kamu?” aku tersenyum padanya.
“Aku ingin kamu bahagia..” Juan menatapku nanar.
Aku terpaku.
Terlihat sekali di matanya terpancar cinta yang tulus untukku. Aku menatap matanya dalam. Terasa aneh memang, belum pernah hatiku dihinggapi perasaan yang seperti ini. Sudah beberapa kali aku jatuh cinta namun Juan sosok yang beda yang diberikan Tuhan untukku.
Ada rasa tak ingin kehilangan dia meski aku baru tiga bulan menjalin cinta dengannya.
“Juan?”
“Iya, De. Ada apa?”
“Apakah kau akan terus menemaniku?” air mataku mulai menetes.
Juan memelukku. Dan itu nyaman sekali.
“Sudah siap meluncurkan pesawat?” tanya Juan.
Aku mengangguk.
“Satu… Dua.. Tiga!!!”
Pesawat kami terbang bersama-sama. Mengikuti hembusan angin pagi dan menerbangkan harapan kami. Ketika sampai di atas danau, tiba-tiba saja pesawatku terjatuh ke air dan hanyut. Ah, lagi-lagi, aku teringat ucapan mama tempo hari untuk tidak dekat-dekat lagi dengan Juan karena kata mama kami berbeda.
“Yaah.. pesawatku jatuh, Juan..”
Juan tertawa, “Lihat tuh pesawatku!!”
“Kamu sudah makan, Dea?” Juan bertanya padaku.
Aku menggeleng.
“Mau sarapan bareng?”
Juan langsung menarik tanganku dan mengajakku berlari untuk mengambil sepeda. Kami meninggalkan taman kota.
“Makan yang banyak ya, Tuan Putri..”
Kami tertawa. Hari itu nampak berbeda. Tidak hanya hari, Juanpun nampak berbeda. Dan siapa sangka sebelumnya ternyata hari itu hari terakhirku bersama Juan.
Gelap mendominasi keadaan. Bintang mulai bertaburan dan bulan merah terlihat menawan. Aku masih bertahan di sini. Menepis semua ingatanku tentang Juan yang telah pergi begitu saja meninggalkanku. Kini sosoknya hanyalah fatamorgana.
“De..” seseorang mengagetkanku dari belakang.
Aku menghapus air mataku, “Juan?”
“Aku Neta, De. Mama menyuruhku untuk menjemputmu pulang..”
“Untuk apa aku pulang? Jika..” aku kembali menangis.
“Sebelumnya maaf untuk apa yang telah aku lakukan tadi siang, dan maaf juga aku telah lancang membaca suratmu dari Juan..”
Aku melirik Neta.
“Sekarang aku dan mama sudah mengetahui semuanya. Kau tau, Dea, Juan kini telah tenang di sana. Ada penggalan kata dari suratnya yang mengatakan bahwa Juan ingin selalu melihat kamu bahagia..” Neta merangkulku.
Aku berdiri dan berjalan menuju tepi sungai, “Mana mungkin aku dapat bahagia sedangkan Juan tak lagi di sampingku?” tangisku pecah.
“Sudahlah, De. Jika kamu terus-terusan menangis Juan pasti akan kecewa padamu. Biarkan dia tenang di atas sana..” Neta menunjuk ke atas.
Hah, tepat saat itu aku teringat kata-kata Juan tentang pelajaran dari bulan dan bintang bahwa bintang tak akan bisa bersinar tanpa bulan. Ya, bintang saja untuk bersinar membutuhkan pantulan sinar dari bulan. Sementara aku? Juan adalah bulanku. Bagaimana aku dapat bahagia tanpa Juan?


TAMAT

0 comments:

Post a Comment