“Setelah ini, apa kamu
masih percaya kalau perbedaan itu indah? Masih percaya kalau perbedaan bisa buat
kamu bahagia?”
“Cukup, Net!! Cukup!!
Dia mencintaiku, begitupula aku sebaliknya…” aku menangis.
Neta keluar dari
kamarku dan membanting pintu.
Seketika
kamarku ibarat kapal pecah setelah Neta datang dan mengeluarkan semua barang
pemberian Juan yang sampai saat ini masih kusimpan rapi di almari kamar. Hanya
barang-barang itu yang aku punya setelah kepergian Juan satu tahun yang lalu.
Kepergiannya yang tanpa pamit setelah tiga bulan sebelumnya menyatakan cinta
padaku, membuatku jera untuk kembali merasakan cinta.
Aku
paham sekarang mengapa mamaku sangat melarang hubunganku dengannya. Dia
bukanlah laki-laki yang dapat dipercaya. Hah, bodohnya aku yang percaya begitu
saja dan menitipkan sekeping hatiku padanya.
Tok..
tok.. tokk!! Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Ada surat buat Non
Dea..” suara bibi lirih dari balik pintu.
“Masukkan saja lewat
bawah pintu, Bi..”
Aku berjalan menuju
pintu untuk mengambil surat itu sambil menyingkirkan beberapa barang yang
berserakan di lantai. Kelihatannya seperti surat cinta. Sedikit rasa tidak
percaya dan tekejut, terbubuh nama Juan di amplop surat itu. Aku membukanya
perlahan dan kupastikan amplop merah muda ini dalam kondisi baik.
“Untuk apa aku baca
surat ini? Aku sudah cukup kecewa dengan Juan..” pikirku. Aku melemparnya
begitu saja.
Sore ini aku putuskan
untuk pergi ke taman kota untuk sedikit menghilangkan rasa penat dihatiku.
Beberapa lampu taman
sudah menyala.
Indah!
Tak selaras dengan
pilunya hatiku saat ini. Tanpa kusadari air mataku mulai menetes. Aku menghela
napas. Keadaan sekitar mulai beku. Jingganya senja seperti berusaha mengurai
setiap apa yang pernah aku lalui bersama Juan di taman ini.
“Ayo, Juan..!! Kejar
aku!!” Aku masih terus berlari di sepanjang tepi danau taman.
“Bisakah kita berhenti
sebentar, Dea? Aku lelah sekali..” Juan berteriak padaku dan berhenti berlalri.
Aku menghampirinya.
“Kamu kenapa, Juan?”
Juan masih terus
membungkuk dan memegangi lututnya.
“Kau sakit?” tanyaku
khawatir. Aku mengintipnya mukanya dari bawah, dan tiba-tiba saja Juan lari
meninggalkanku. Hah, selalu saja aku tertipu olehnya.
“Juan!!! Ini nggak
lucu!!” teriakku kesal.
Iya, begitulah cara
Juan menghiburku. Terkesan aneh untuk pertama kalinya, namun aku selalu rindu
saat-saat seperti itu jika sehari saja Juan tak melakukannya. Dia sangat
istimewa! Istimewa sekali! Dia berbeda dengan banyak lelaki yang aku kenal.
Sosoknya lebih dari sempurna untukku. Bahkan sering kali aku berpikir bahwa
Juan adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
“Kupikir hari ini sudah
cukup, Dea. Mari kita pulang..” Juan mengulurkan tangan.
“Ha? Hanya lari saja?”
“Iya, tapi besok aku
punya sebuah kejutan untukmu..” Juan tersenyum.
Juan dan sepedanya
mengantarku pulang. Sederhana memang, tapi ini indah. Bahkan lebih indah dari
matahari senja yang tenggelam. Angin yang membawa hawa dingin memaksaku untuk
lebih erat berpegangan pada Juan. Ada kenyamanan tersendiri ketika itu.
Kenyamanan yang pasti tidak akan aku temui pada orang lain.
“Oke, kita udah sampai. Dan.. selamat
beristirahat, Tuan Putri..” Juan tertawa kecil.
“Iya, Pangeran Juan..”
“Tunggu sebentar, Dea.
Coba lihat ke atas, di sana ada bintang dan bulan..”
“Ya kan udah malam,
jadi wajar dong kalau ada bulan sama bintang..”
“Bukan itu maksudku..
apa kamu tau sesuatu dari mereka??”
“Dea!! Masuk!!” teriak
mama.
Iya, mamaku memang
tidak pernah suka jika aku pulang diantar oleh Juan. Sudah terlalu banyak argumen
tentang Juan yang aku dengar dari mama. Bukan durhaka, hanya saja aku sudah
bukan anak kecil lagi yang untuk urusan cinta juga harus ada campur tangan dari
orang tua.
Pagi mulai merekah.
Ketika kubuka jendela kamarku, mentari baru saja terbit di ufuk timur.
Tiba-tiba saja dari arah luar sebuah pesawat kertas melintas di atas kepalaku. Tak
ada orang yang terlihat di luar sana. Keadaan masih lengang. Hanya beberapa
burung kecil yang berkicau.
“Pesawat? Dari siapa
ya” batinku.
“Cepet
mandi ya, Cantik. Aku tunggu kamu di taman kota. Juan.”
Surat dari Juan. Aku
bergegas menuju kamar mandi dan sesegera mungkin pergi ke taman kota untuk
menghampiri Juan.
“Ma, pergi dulu ya..”
“Mau kemana, De?
Sarapan dulu..” tegur mama.
Tanpa menghiraukan mama
aku langsung mengambil sepeda dan pergi menemui Juan. Jalan masih begitu sepi.
Hanya ada suara kayuhan sepedaku yang memecah diam.
“Juan!? Kamu di mana?”
aku berteriak. Tak terlihat satu orangpun di taman. Air sungai masih begitu
tenang dan beberapa daun terlihat masih meneteskan embun.
Seseorang menepuk
pundakku, “Darrrr!!” Juan tertawa.
“Ha… ha… ha!! Lucu!!”
“Marah.. marah..
marah..? Senyum dong, De. Kamu bawa pesawat dari aku nggak?”
“Bawa kok. Kenapa
suratnya lewat pesawat kertas??” tanyaku penasaran.
“Memang kamu pengennya
lewat apa?” Juan menarikku untuk duduk.
Aku hanya diam. Juan
melirikku.
“Kamu tau nggak? Ini
memang hanya pesawat kertas. Hanya kertas dan rapuh. Tapi serapuh-rapuhnya dia
jika kamu menulis sebuah harapan padanya dia mampu menerbangkan harapanmu
sampai ke atas sana..” Juan menunjuk keatas.
Birunya langit pagi
begitu memesona mata. Sinar mentari mulai terlihat anggun menerobos celah-celah
ranting dan membias dalam aliran air sungai yang tenang. Juan menyodorkan
beberapa kertas origami dan pensil warna padaku.
“Apa yang ingin kamu
tulis, De?” Juan menengok padaku.
“Aku ingin kita selalu
bersama. Kamu?” aku tersenyum padanya.
“Aku ingin kamu
bahagia..” Juan menatapku nanar.
Aku terpaku.
Terlihat sekali di
matanya terpancar cinta yang tulus untukku. Aku menatap matanya dalam. Terasa
aneh memang, belum pernah hatiku dihinggapi perasaan yang seperti ini. Sudah beberapa
kali aku jatuh cinta namun Juan sosok yang beda yang diberikan Tuhan untukku.
Ada rasa tak ingin
kehilangan dia meski aku baru tiga bulan menjalin cinta dengannya.
“Juan?”
“Iya, De. Ada apa?”
“Apakah kau akan terus
menemaniku?” air mataku mulai menetes.
Juan memelukku. Dan itu
nyaman sekali.
“Sudah siap meluncurkan
pesawat?” tanya Juan.
Aku mengangguk.
“Satu… Dua.. Tiga!!!”
Pesawat kami terbang
bersama-sama. Mengikuti hembusan angin pagi dan menerbangkan harapan kami.
Ketika sampai di atas danau, tiba-tiba saja pesawatku terjatuh ke air dan
hanyut. Ah, lagi-lagi, aku teringat ucapan mama tempo hari untuk tidak
dekat-dekat lagi dengan Juan karena kata mama kami berbeda.
“Yaah.. pesawatku
jatuh, Juan..”
Juan tertawa, “Lihat
tuh pesawatku!!”
“Kamu sudah makan,
Dea?” Juan bertanya padaku.
Aku menggeleng.
“Mau sarapan bareng?”
Juan langsung menarik
tanganku dan mengajakku berlari untuk mengambil sepeda. Kami meninggalkan taman
kota.
“Makan yang banyak ya,
Tuan Putri..”
Kami tertawa. Hari itu
nampak berbeda. Tidak hanya hari, Juanpun nampak berbeda. Dan siapa sangka
sebelumnya ternyata hari itu hari terakhirku bersama Juan.
Gelap mendominasi
keadaan. Bintang mulai bertaburan dan bulan merah terlihat menawan. Aku masih
bertahan di sini. Menepis semua ingatanku tentang Juan yang telah pergi begitu
saja meninggalkanku. Kini sosoknya hanyalah fatamorgana.
“De..” seseorang
mengagetkanku dari belakang.
Aku menghapus air
mataku, “Juan?”
“Aku Neta, De. Mama
menyuruhku untuk menjemputmu pulang..”
“Untuk apa aku pulang?
Jika..” aku kembali menangis.
“Sebelumnya maaf untuk
apa yang telah aku lakukan tadi siang, dan maaf juga aku telah lancang membaca
suratmu dari Juan..”
Aku melirik Neta.
“Sekarang aku dan mama
sudah mengetahui semuanya. Kau tau, Dea, Juan kini telah tenang di sana. Ada penggalan
kata dari suratnya yang mengatakan bahwa Juan ingin selalu melihat kamu
bahagia..” Neta merangkulku.
Aku berdiri dan
berjalan menuju tepi sungai, “Mana mungkin aku dapat bahagia sedangkan Juan tak
lagi di sampingku?” tangisku pecah.
“Sudahlah, De. Jika
kamu terus-terusan menangis Juan pasti akan kecewa padamu. Biarkan dia tenang
di atas sana..” Neta menunjuk ke atas.
Hah, tepat saat itu aku
teringat kata-kata Juan tentang pelajaran dari bulan dan bintang bahwa bintang
tak akan bisa bersinar tanpa bulan. Ya, bintang saja untuk bersinar membutuhkan
pantulan sinar dari bulan. Sementara aku? Juan adalah bulanku. Bagaimana aku
dapat bahagia tanpa Juan?
TAMAT
0 comments:
Post a Comment